REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyarankan agar Polri tidak memberikan sanksi pidana kepada warga yang tetap 'membandel' untuk berkumpul guna mengantisipasi penyebaran COVID-19. Komnas HAM mengusulkan agar mereka cukup diberikan sanksi kerja sosial maupun denda.
"Sanksi ada baiknya bukan pidana, karena penjara telah penuh sesak dan pengadilan juga diminta sementara tidak melakukan aktivitasnya. Sanksi yang dimaksud bisa berupa sanksi denda atau sanksi kerja sosial," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (24/3).
Ia berpendapat pemberian sanksi di tengah kondisi darurat Covid-19 memang dimungkinkan untuk diberikan kepada yang melanggar instruksi pemerintah agar bisa memutus rantai penyebaran COVID-19. Namun, pemberian sanksi itu juga sebaiknya yang bisa menimbulkan solidaritas.
Menurut Choirul, sebaiknya dasar pemberian sanksi itu harus dibuat terlebih dahulu dan mekanisme kerjanya mesti terbuka. Tak lupa, prinsip dasar HAM bisa menjadi rujukan.
Dalam kesempatan itu, Choirul menyebutkan, langkah pemerintah dalam menghadapi COVID-19 harus jelas dan tidak boleh membingungkan, terutama bagi masyarakat. "Sangat disayangkan kebijakan yang ada belum utuh. Hal ini menunjukkan konsolidasi penanganan belum maksimal dan efektif," katanya.
Contoh nyatanya adalah upaya 'rapid test' di beberapa daerah yang terlanjur diumumkan namun dibatalkan. Kondisi ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan kepanikan.
"Metodologi yang dilakukan harus memiliki standar yang jelas sebelum dipublikasikan. Kemudian lebih penting lagi, tidak menimbulkan kontradiksi dengan kebijakan sebelumnya. Ini terjadi pada model tes rapid yang dibatalkan karena dilakukan secara kerumunan, padahal kebijakan utamanya adalah menghindari kerumuman," jelasnya.
Sebelumnya, Kadiv Humas Polri, Irjen Mohammad Iqbal mengatakan Polri bersama TNI akan membubarkan masyarakat yang masih tidak mengindahkan imbauan pemerintah agar bekerja dari rumah dan menjaga jarak demi menekan penularan virus Covid-19. Iqbal menyebut 460 ribu personel Polri dikerahkan terkait hal itu.
"Ada 460 ribu personel Polri serentak bergerak atas perintah Kapolri melalui Maklumat Kapolri. Lebih dari 500 polres, 5.000 polsek bergerak untuk melakukan tindakan kemanusiaan, upaya persuasif humanis, untuk menyampaikan imbauan kepada masyarakat yang masih terlihat berkumpul, berkerumun meski cuma ngopi di kafe," kata Irjen Iqbal di Mabes Polri, Jakarta, Senin (23/3).
Upaya pembubaran ini menindaklanjuti Maklumat Kapolri nomor Mak/2/III/2020 tertanggal 19 Maret 2020 yang diterbitkan menyusul semakin cepatnya penyebaran penularan virus COVID-19 di Indonesia.
"Polri tidak ingin akibat berkerumun apalagi cuma kongkow-kongkow, penyebaran virus bertambah," katanya.
Iqbal pun menyebut, bila ada masyarakat yang tidak mematuhi petugas Polri akan diproses hukum. "Apabila masih ada masyarakat membandel, tidak mengindahkan perintah personel yang bertugas untuk kepentingan bangsa dan negara, kami akan proses hukum dengan Pasal 212 KUHP dan Pasal 216 dan 218. Jadi intinya bisa dipidana," kata mantan kabid Humas Polda Metro Jaya itu.
Pasal 212 KUHP berbunyi "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".