REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan umatnya untuk memuliakan tamu. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR Bukhari).
Dalam Alquran, Allah SWT mengabadikan teladan Nabi Ibrahim AS dalam menghormati tamu. Leluhur Rasulullah SAW itu bahkan menyediakan sajian terbaik yang dimilikinya kepada sang tamu, yang ternyata adalah malaikat pembawa kabar.
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, ‘//Salaaman//’ (salam), Ibrahim menjawab, ‘//Salaamun//’ (salam). (Mereka itu) orang-orang yang belum dikenalnya. Maka, diam-diam ia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim berkata, ‘Mengapa tidak kamu makan?’ Maka ia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, ‘Janganlah kamu takut,’ dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak)” (QS adz-Dzariyat: 24-28).
Ada lagi satu kisah lainnya tentang memuliakan tamu yang juga diabadikan dalam Alquran. Kali ini, cerita tersebut dialami sahabat Rasulullah SAW, yakni Abu Thalhah al-Anshari dan istrinya—Ummu Sulaim. Berikut adalah kisah itu, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah.
Pada suatu hari, seorang musafir datang ke Madinah. Pengelana itu lantas menyambangi Masjid Nabawi. Sesudah ikut menunaikan shalat berjamaah, ia pun meminta izin bertemu Rasulullah SAW.
“Wahai Rasulullah, aku betul-betul tertimpa kepayahan. Tubuhku lemas sekarang karena aku begitu kelaparan,” kata dia.
Nabi SAW pun memintanya untuk menunggu dalam masjid. Selanjutnya, beliau mendatangi rumah seorang istrinya untuk menanyakan, apakah ada makanan yang dapat disajikan untuk tamunya itu.
“Demi Tuhan yang mengutusmu dengan kebenaran, kita tak memiliki suatu sajian apa pun kecuali air saja,” jawab istrinya itu.
Rasul SAW lantas pergi ke rumah istrinya yang lain. Pertanyaan beliau ditanggapi dengan jawaban yang sama, “Demi Tuhan yang mengutusmu dengan kebenaran, kita tak memiliki apa pun kecuali hanya air minum.”
Beliau pun mengetuk tiap rumah istri-istrinya, tetapi jawaban yang diperolehnya selalu sama. Setelah itu, Nabi SAW kembali ke masjid dan menjumpai di sana sang musafir masih merintih akibat menahan lapar. Sementara itu, matahari sudah kembali ke peraduannya.
Beliau pun mengumumkan kepada khalayak sekalian, “Siapakah yang hendak menjamu musafir ini pada malam ini? Semoga Allah merahmati orang yang menerimanya sebagai tamu.”
Abu Thalhah memuliakan tamu
Di antara jamaah masjid tersebut, Abu Thalhah al-Anshari mendengar seruan Nabi SAW itu. Ia pun bangkit berdiri untuk menyatakan kesediaannya. “Wahai Utusan Allah, aku dapat menjamunya di rumahku. Biarlah ia menjadi tamuku malam ini,” kata sahabat dari golongan Anshar itu.
Rasulullah SAW tersenyum senang. Beliau mengarahkan sang musafir untuk mengikuti Abu Thalhah. Sahabat Nabi SAW itu menuntun tamunya itu dengan cermat. Ia pun beranjak pergi bersama sang tamu dengan hewan tunggangannya. Sesampainya di rumah, Abu Thalhah menjumpai istrinya, Ummu Sulaim.
“Apakah kita memiliki makanan di rumah?” katanya sembari berbisik.
“Tidak ada kecuali yang bisa dimakan anak-anak kita malam ini,” jawab Ummu Sulaim.
Kepada istrinya itu, Abu Thalhah menjelaskan keadaan musafir yang datang kepada Rasulullah SAW sore itu dan kini menjadi tamunya. Pengelana ini sudah berhari-hari tak makan, sedangkan dirinya sudah menyatakan bersedia untuk menerimanya sebagai tamu.
“Kalau begitu,” ujar Abu Thalhah, “Sibukkanlah anak-anak kita dengan sesuatu, kemudian tidurkanlah mereka. Dengan begitu, mereka tak akan merasa lapar untuk malam ini. Kemudian, kita dapat menerima tamu.”
Ummu Sulaim melaksanakan perintah suaminya. Sementara itu, Abu Thalhah mempersilakan sang musafir untuk masuk ke rumahnya.
Sesudah berhasil menidurkan anak-anaknya lebih awal, Ummu Sulaim pergi untuk menyiapkan makanan. Abu Thalhah pun permisi sebentar dari tamunya itu untuk berbicara kepada istrinya di dalam dapur.
“Setelah kamu menyajikan makanan ini kepada tamu kita, hidangkanlah piring kosong untukku. Aku akan pura-pura ikut makan bersamanya agar dia tak merasa canggung,” katanya.
Abu Thalhah lalu kembali ke tamunya sembari membawa hidangan. Ia juga mengatakan, rumahnya sedang kehabisan minyak sehingga lampu di ruangan tidak dinyalakan.
Maka, Abu Thalhah pun menemani tamunya itu makan malam dalam keadaan gelap. Sebuah piring berisi makanan yang tadinya diperuntukkan bagi anak-anaknya sendiri kini dihidangkan untuk sang tamu. Sementara itu, ia mengerik piring kosong di hadapannya sampai tamu itu selesai makan dan kenyang.
Ya, musafir itu tidak menyadari, sang tuan rumah dan keluarganya tidak makan malam ini.
Keesokan paginya, Abu Thalhah dan Ummu Sulaim menemui Rasulullah SAW.
“Allah takjub kepada apa yang kalian lakukan tadi malam,” kata beliau dengan wajah berseri-seri.
Inilah asbabun nuzul surah al-Hasyr ayat sembilan. Artinya, “Dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Apa yang dilakukan Abu Thalhah ialah itsar. Maknanya, mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri. Allah Ta’ala menyukai orang-orang yang melakukan itsar.