REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan menyatakan, sebanyak 11 ribu ton bawang putih impor dari China telah masuk ke Indonesia. Gejolak harga bawang putih diharap mereda dan harga terus menurun ke level yang normal.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Suhanto, mengatakan, masuknya bawang putih diimpor diketahui tiba sejak tanggal 9 Maret 2020. Selanjutnya telah melalui proses karantina dan siap untuk diguyur ke pasar tradisional dan ritel modern.
"Harga bawang putih bulan ini sudah turun dibandingkan bulan lalu, sekarang rata-rata Rp 42.300 per kilogram, namun menurut kami itu masih (tinggi)," kata Suhanto dalam teleconference Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Rabu (25/3).
Suhanto mengatakan, sebelumnya Kemendag sudah menerbitkan 150 ribu ton Surat Persetujuan Impor (SPI) atau izin impor bawang putih. Namun, pada pekan lalu pihaknya sudah melakukan pembebasan izin impor hingga 31 Mei 2020, baik untuk bawang putih maupun bawang bombai. Hal itu dilakukan agar mempercepat proses importasi sehingga gejolak harga segera teratasi.
Sementara itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai, kebijakan Kemendag merupakan langkah yang tepat dalam memastikan ketersediaan kebutuhan pangan di pasar.
Namun, kata dia, pemberlakukan RIPH yang masih dijalankan perlu dievaluasi efektivitasnya. Terlebih, kata dia, fungsi utama RIPH yakni untuk mendapatkan SPI dari Kemendag yang justru sudah dibebaskan sementara.
"Pemberlakuan rekomendasi impor harus dievaluasi efektivitasnya, terutama pada masa sekarang ini. Pemenuhan kebutuhan masyarakat perlu diprioritaskan tanpa melalui proses yang panjang," jelasnya.
Ia menuturkan, permasalahan yang dihadapi para importir terhadap pemberlakuan RIPH adalah mengenai adanya wajib tanam sebesar 5 persen dari volume impor yang diajukan. Padahal, petani bawang putih sendiri menghadapi berbagai tantangan dalam menanam bawang putih.
Seperti misalnya, keterbatasan ketersediaan lahan dan ketidaksesuaian iklim, dan ketidakmampuan importir dalam menemukan kelompok tani yang bisa merealisasikan kewajiban tanam. Implementasi keharusan wajib tanam juga terhalang oleh kapasitas untuk mengecek kenyataan di lapangan atau memantau perkembangan penanaman.
Alhasil, kata dia, banyak pelaksanaan wajib tanam yang tidak sesuai dengan laporan. Belum lagi adanya kerawanan penyalahgunaan aturan kuota impor dari RIPH yang nampak pada kasus korupsi impor bawang putih yang terjadi pada 2019 yang lalu. Ia mengatakan, potensi korupsi terjadi karena sistem RIPH yang tidak transparan.
“Alih-alih mendorong swasembada bawang putih, proses RIPH malah rawan dikorupsi dan justru merugikan masyarakat,” ucapnya.