REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Satu tahun berlalu setelah penembakan brutal yang menewaskan 51 orang di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru. Pelaku yang didakwa pembantaian pun mengubah pengakuannya menjadi bersalah.
Seorang penganut supremasi kulit putih Brenton Harrison Tarrant akhirnya mengaku bersalah atas pembunuhan 51 orang, 40 percobaan pembunuhan, dan satu aksi terorisme. Pembantaian yang dilakukan warga Australia itu menjadi kasus penembakan paling mematikan dalam sejarah modern Selandia Baru.
Penembakan tersebut membuat pemerintah segera mengeluarkan undang-undang yang melarang kepemilikan sebagian besar senjata api semi-otomatis. Tarrant dijadwalkan akan dihadapkan ke persidangan pada bulan Juni.
Keputusan Tarrant untuk mengaku bersalah pada Kamis (26/3) ini mengejutkan sekaligus melegakan para penyintas dan keluarga korban. Pembacaan vonisnya belum dijadwalkan. Laki-laki berusia 29 tahun itu menghadapi dakwaan penjara seumur hidup.
Permohonan Tarrant muncul ketika sidang-sidang di Selandia Baru digelar dengan terburu-buru. Pasalnya, untuk mengatasi wabah virus corona tipe baru penyebab Covid-19, negara itu akan melakukan penutupan wilayah selama empat pekan.
Penutupan wilayah ini artinya Tarrant akan tampil di persidangan dari selnya melalui telekonferensi. Hanya beberapa orang yang diizinkan masuk ke ruang sidang.