REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jafar AR Zamel dalam tesisnya untuk University of Guelph, “Islamic City: The Emergence and Development During the Early Islamic Period (622-750 AD)” (2009) menjelaskan siapa sosok perintis studi tata kota dalam peradaban Islam.
Menurut Zamel, sosok Abi al-Rabi’a kerap disebut sebagai perintis studi tata kota Islam. Dalam karyanya, Suluk al-Malik fii Tadbir al-Mamalik ‘ala al-Tamam wa al-Kamal, ia membuat daftar hal-hal yang harus dipastikan terlebih dahulu sebelum menentukan lokasi lahan kota baru.
Yang paling utama menurut dia adalah akses terhadap air bersih. Sebabnya jelas, air merupakan kebutuhan yang esensial bagi keberlangsungan makhluk hidup. Selain itu, kemudahan untuk mendapatkan sumber penghidupan.
Penduduk kota tentunya akan sulit bila mata pencaharian mereka jauh dari tempatnya tinggal. Di samping itu, ada aspek-aspek lainnya, seperti cuaca yang bersahabat, udara segar, serta keamanan dari kemungkinan serangan musuh.
Bahkan, al-Rabi’a menyarankan agar suatu kota dipagari tembok-tembok yang kokoh sehingga dapat menangkal setiap ancaman yang datang. Tak lupa, ia juga mengimbau penguasa untuk menjadikan kotanya sebagai pusat aktivitas intelektual dan keterampilan sehingga para cerdik-pandai dari berbagai wilayah dapat turut memperkaya kota itu.
Sementara itu, ilmuwan Muslim lainnya, Ibnu al-Azraq cenderung lebih simpel dalam menentukan kriteria-kriteria pendirian suatu kota baru.
Rumusannya cukup sederhana, “hindari bahaya, peroleh manfaat.” Maknanya, lahan calon kota baru ditentukan dari aspek keamanannya.
Seperti halnya al-Rabi’a, ia juga menekankan pentingnya membangun tembok-tembok pembatas untuk melindungi penduduk tempatan. Kontur wilayah juga mesti menjadi pertimbangan. Misalnya, apakah lahan itu berada dekat pesisir, pegunungan, atau sungai. Penguasa harus memetik keuntungan dari kondisi geografis wilayahnya.
Jangan sampai pemimpin lalai dari memperhatikan mitigasi dari bencana yang mungkin akan terjadi—semisal banjir, tanah longsor, atau gunung meletus. Dalam hal ini, al-Azraq mengingatkan, potensi bahaya tak hanya datang dari serangan musuh, melainkan juga berbagai fenomena alam yang destruktif.
Yang jelas, tata kota Islam pada era klasik selalu memperhatikan aspek keberlanjutan (sustainability).
Oleh karena itu, para sarjana Muslim masa tersebut mewanti-wanti pentingnya suatu kota untuk menjaga hubungan dengan daerah pinggiran, apalagi yang bercorak agraris.
Sebab, pasokan pangan dan aktivitas perekonomian di dalam kota itu akan lumpuh bila tidak ditunjang wilayah di sekitarnya.
Pembangunan suatu kota baru, semisal Wasith (kini bagian dari Irak), merupakan contoh bagus. Kota itu didirikan al-Hajjaj bin Yusuf pada era Kekhalifahan Umayyah. Area sisi barat Sungai Tigris dipilih sebagai lokasinya lantaran dikitari tanah agraris yang subur dan dihidupi para petani setempat sebelumnya.
Alhasil, al-Hallaj tak perlu mengkhawatirkan suplai kebutuhan pokok dan roda perekonomian warga kota itu nantinya.