REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jauh sebelum munculnya Baghdad, peradaban Islam telah memunculkan kota besar di Negeri Irak. Salah satunya adalah Basrah.
Kota ini berlokasi di tepi barat Shatt al-Arab, yakni aliran yang mempertemukan muara Sungai Tigris dan Sungai Eufrat. Basrah mulanya dibangun sebagai bagian dari operasi militer. Menurut catatan sejarah, pada 634 Khalifah Umar bin Khattab menginstruksikan pendirian kamp tentara di sana.
Pasukan Muslim tersebut dipimpin Utbah bin Ghazwan. Sang Amirul Mukminin mengirim Utbah ke Basrah—yang saat itu masih bernama Ubullah. Ibnu Ghazwan bertugas membebaskan wilayah tersebut dari pendudukan balatentara Persia.
Raja Persia, Kisra, diketahui hendak menjadikan daerah dekat pesisir Teluk Persia itu sebagai basis pasukannya. Ia ingin menghancurkan kekuatan Islam yang sedang menyebar ke arah timur Arab.
Di Basrah, Ibnu Ghazwan memulai misinya itu dengan merancang masjid besar. Masjid itu kemudian menjadi titik pusat kota.
Di sekitarnya, ia lantas membangun permukiman dalam blok-blok permukiman (khitta) yang telah dibagi. Tiap suku diperkenankan untuk mengembangkan khitta-nya masing-masing.
Akan tetapi, rumah warga dianjurkan untuk dibuat dengan bahan baku yang mudah dibongkar-pasang. Sebab, Basrah kala itu masih dikondisikan sebagai kamp tentara.
Berkembang pesat
Untuk menghubungkan antarkediaman dan masjid, Ibnu Ghazwan juga membangun jalan. Jalan raya yang mengarah ke masjid besar lebih lebar tiga kali lipat dibandingkan jalan-jalan yang menyambung rumah-rumah tempatan. Selain itu, kawasan padang rumput juga disiapkan sebagai tempat perawatan kuda-kuda perang. Tiap khitta juga dilengkapi dengan fasilitas kesehatan umum, masjid kecil, dan kompleks permakaman.
Basrah kian berkembang saat dipimpin Abu Musa al-Asyari (638-640 M). Sang gubernur mulai mengubah Basrah dari yang semula permukiman militer menjadi kota dalam arti yang sesungguhnya. Pertama-tama, ia mengizinkan rumah-rumah serta berbagai fasilitas publik untuk dibangun dengan bahan yang lebih permanen. Masjid besar Basrah pun direnovasi sehingga lebih kokoh dengan dinding berbahan bata. Al-Asyari juga memperbaiki pasokan air bersih serta penyalurannya dari rumah ke rumah warga setempat.
Proyek irigasi juga dimulai pada masanya hingga tuntas dikerjakan saat era pemerintahan Gubernur Abdullah bin Amir (646-657 M). Sejak saat itu, penduduk Kota Basrah kian makmur. Sebab, pertanian semakin berkembang subur. Aktivitas perniagaan juga kian ramai. Bahkan, Ibnu Amir membeli sejumlah lahan dan rumah untuk kemudian pasar-pasar dibangun di atasnya.
Pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, populasi Basrah sudah mencapai 60 ribu jiwa. Angka ini berasal dari catatan al-Tabari, yang mengutip surat Ibnu Abbas. Isinya mengeluhkan masyarakat Basrah yang, menurutnya, kurang mendukung kampanye militer pro-Ali melawan Muawiyah. “Hanya 1.500 orang yang kalian kirim untuk bertempur, sedangkan jumlah kalian mencapai 60 ribu orang—itu di luar anak-anak dan budak,” katanya.
Basrah menjadi kota penting di seantero bekas wilayah Kekaisaran Persia. Ketika dipimpin Gubernur Ziyad bin Abihi (622-673 M), kota itu kian maju. Waktu itu, Kekhilafahan Umayyah tampil memimpin kedaulatan Islam. Oleh karena peperangan usai, masyarakat pun dapat menjalankan roda perekonomian dengan lebih baik.
Ibnu Abihi membangun pasar besar yang dinamakan Madinah al-Ruzq, ‘kota mata pencaharian.’ Bentuknya berupa bangunan yang memiliki empat pintu utama. Di dalamnya, para pedagang dan pengunjung bertemu untuk melakukan transaksi berbagai komoditas. Seiring dengan kemajuan kota, Basrah juga dilengkapi banyak rumah sakit, toko-toko, dan pusat kerajinan.