Kamis 26 Mar 2020 12:05 WIB

Allah tak Robohkan Rumah Ibadah Non-Muslim, Mengapa?

Menjadi kewajiban umat Islam untuk memelihara rumah ibadah.

Red: A.Syalaby
Penembakan yang menewaskan dua orang terjadi di sinagoge di Halle, Jerman, Kamis (10/10).
Foto: AP Photo/Jens Meyer
Penembakan yang menewaskan dua orang terjadi di sinagoge di Halle, Jerman, Kamis (10/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Islam tidak pernah melarang bermuamalah dengan non-Muslim. Islam pun menghormati ritual dan tempat peribadatan umat agama lain. Allah SWT memuliakan tempat dan rumah peribadatan.

Di dalam QS al-Hajj ayat 40, Allah SWT berfirman, "…. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan beberapa istilah, yakni sawami’, salawat, dan biya’un. Imam Ibnu Katsir mengutip Ibnu Abbas, Mujahid, Abul Aliyah, Ikrimah ad-Dahhak menjelaskan, sawami' adalah tempat-tempat ibadat yang kecil yang dipakai oleh rahib. Ada juga yang berpendapat jika sawami' adalah rumah peribadatan kaum Majusi. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa sawami' adalah rumah-rumah yang terletak di pinggir-pinggir jalan.

Biya’un diistilahkan sebagai tempat peribadatan yang jauh lebih besar daripada yang pertama. Tempat ini memuat lebih banyak orang di dalamnya; milik orang-orang Nasrani pula. 

As-Saddi telah meriwayatkan dari orang-orang yang menerimanya dari Ibnu Abbas bahwa biya'un adalah tempat-tempat peribadatan orang-orang Yahudi. Sementara itu, Mujahid mengatakan bahwa biya'un itu tiada lain adalah gereja-gereja.

Salawat dipahami sebagai gereja-gereja. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, ad-Dahhak, dan Qatadah bahwa salawat adalah gerejanya orang Yahudi alias sinagoge. Mereka menamainya salawat. 

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Prof Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah mengungkapkan, Allah SWT tidak menghendaki kehancuran rumah-rumah ibadah. Dari sini, ulama menetapkan bahwa menjadi kewajiban umat Islam untuk memeliharanya. Tidak saja memelihara masjid-masjid, tetapi juga rumah ibadah umat lain seperti gereja dan sinagoge. 

Lembaga fatwa Mesir Dar al-Ifta menyebutkan, prinsip hubungan antara Muslim dan non-Muslim adalah koeksistensi. Muslim yang tinggal di negara-negara non-Muslim harus terlibat dalam komunitas mereka sambil mengamati identitas Muslim mereka.

Secara hukum, Muslim tidak diizinkan berbagi non-Muslim dalam hal apa pun yang melanggar dasar-dasar hukum Islam. Sebaliknya, Muslim diperbolehkan berbicara dengan ramah dan berpartisipasi dengan non-Muslim dengan cara yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasulullah SAW. 

Tidak ada keraguan bahwa menjaga hubungan dengan non-Muslim dengan bertukar kunjungan, memberikan belasungkawa dan harapan baik, bertukar hadiah, dan sejenisnya adalah bagian dari perlakuan baik. Hal ini dianggap sebagai salah satu cara untuk memanggil agama Allah melalui perilaku mulia.

Allah SWT memerintahkan kita untuk mengucapkan kata-kata baik kepada semua orang. Allah berfirman, "Bicaralah dengan adil kepada orang-orang." (QS al-Baqarah 2:83). Allah juga memerintahkan kita untuk selalu baik kepada orang lain. Allah berfirman, "Allah memerintahkan keadilan dan melakukan kebaikan." (QS an-Nahl, 90).

sumber : Dialog Jumat
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement