REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan Sya'ban termasuk bulan istimewa bagi umat Islam. Juga dikenal sebagai bulan Rasulullah karena pada bulan tersebut beliau banyak berpuasa. Bulan Sya'ban jatuh pada hari ini, Kamis (26/3).
Bahkan, tidak ada bulan selain Ramadhan yang beliau berpuasa lebih banyak daripada bulan Sya'ban. Diriwayatkan dari istri beliau, Aisyah binti Abu Bakar berkata: "Saya tidak melihat Rasulullah menyempurnakan puasa sebulan penuh selain dalam bulan Ramadhan, dan saya tidak melihat beliau berpuasa dalam suatu bulan yang lebih banyak daripada bulan Sya'ban" (HR Al Bukhari dan Muslim).
Begitu hebatnya Sya'ban sampai ada banyak riwayat dhaif (lemah) bahkan maudhu' (palsu) tentang bulan Sya'ban ini, antara lain:
1. Diriwayatkan Rasulullah bersabda: "Jika tiba malam Nisfu Sya'ban maka shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya karena sesungguhnya Allah menurunkan rahmatnya pada malam itu ke langit dunia, yaitu mulai dari terbenamnya matahari. Lalu Allah berfirman, 'Adakah orang yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni. Adakah orang yang meminta rezeki, maka akan Aku beri rezeki. Adakah orang yang tertimpa musibah maka akan Aku selamatkan. Adakah begini atau begitu? Sampai terbitnya fajar". (HR Ibnu Majah dari Ali Bin Abi Thalib). Hadits ini dhaif karena ada perawi yang bernama Abu Bakar bin Abdullah yang suka membuat hadits palsu.
2. Diriwayatkan Rasulullah bersabda: "Sungguh Allah pasti muncul di malam Nisfu Sya'ban untuk mengampuni dosa semua hamba-nya, selain mereka yang musyrik dan pendengki" (HR Ibnu Majah dari Abu Musa al Asy'ari). Hadits ini dhaif karena kelemahan Ibnu Lahi'ah dan kecurangan al-Walid bin Muslim.
3. Diceritakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Ziyad al-Minqari (juru kisah) berkata: "Pahala ibadah di malam Nisfu Sya'ban itu menyamai pahala beribadah pada malam qadar (lailatul qadar). Maka Ibnu Abi Mulaikah mereaksi: andai saya mendengar sendiri dia berkata begitu sedang di tangan saya ada tongkat, maka saya pasti pukul dia dengan tongkat itu" (diriwayatkan oleh Abdur Razzaq). Ini bukan hadits tapi maqalah (ungkapan) Ziyad al-Minqari, sehingga tidak dapat dipedomani.
4. Dari 'Atha' bin Yasar, dia berkata: "Rasulullah tidak pernah lebih banyak berpuasa dalam bulan apa pun melebihi puasa beliau pada bulan Sya'ban. Hal ini karena dalam bulan tersebut diubah ajal orang yang mestinya mati tahun itu" (diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah). Ini juga bukan hadits tapi maqalah 'Atha' bin Yasar sehingga juga tidak dapat di pedomani.
Mengenai apakah takdir itu bisa berubah di bulan Sya'ban, KH Ahmad Zahro dalam bukunya Fiqih Kontemporer menjelaskan takdir itu semuanya mu'allaq (bisa berubah). Sedankan qadha ada yang mu'allaq, ada yang mubram (tidak bisa berubah), dan itu tidak hanya terjadi di bulan Sya'ban tapi di segala waktu yang dikehendaki Allah SWT.
Takdir (derivasi dari qaddara, yukaddiru, taqdiiran) secara etimologis berarti perkiraan, penentuan berdasar kira-kira, ukuran dan lain-lain. Secara terminologis, takdir adalah ketentuan Allah bagi semua makhluk yang bersifat perkiraan, opsional, bisa berubah dengan batas minimal dan maksimal sesuai kehendak-Nya. Banyaknya ayat doa baik perintah berdoa maupun beberapa redaksi doa, memperkuat pendapat takdir itu bisa berubah atas usul manusia dalam doa.
Sebab, kalau doa tidak bisa mengubah takdir (tentunya atas perkenan Allah), maka untuk apa kita disuruh berdoa. Terhadap takdir ini manusia harus berusaha keras mencapainya dengan ikhtiar dan doa.
Qadha' (derivasi dari qadha, yaqdhi, qadhaan) secara etimologis berarti keputusan atau ketetapan. Secara terminologis ia adalah keputusan Allah bagi semua makhluk yang bersifat final baik sementara atau selamanya dan merupakan hak prerogatif-Nya. Banyaknya ayat tentang kemahakuasaan Allah menunjukkan pemilik keputusan akhir yang mutlak adalah Allah. (lihat ar-Ra'd ayat 11).