REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) bersama dengan tim konsorsium Covid-19 melakukan penyesuaian perangkat pendeteksi Covid-19 khusus Indonesia. Menristek Bambang Brodjonegoro mengatakan, penyesuaian ini penting agar sesuai dengan virus corona yang bermutasi di Indonesia.
Saat ini, tes yang digunakan Indonesia menggunakan produksi China. Bambang mengatakan, perangkat tes yang digunakan saat ini tentunya bisa dimanfaatkan. Meskipun demikian, masyarakat harus tetap melakukan social/physical distancing meskipun memiliki hasil yang negatif.
"Apabila negatif, yang bersangkutan harus tetap mematuhi etika yang ada saat ini yaitu social atau physical distancing, bekerja dari rumah dan melakukan aktivitas keluar yang terbatas. Sehingga, penyebaran yang terjadi tidak melebar," kata Bambang, dalam konferensi pers daring bersama tim konsorsium Covid-19, Kamis (26/3).
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjadi koordinator pengembangan tes KIT khusus Indonesia ini. Saat ini pendeteksi Covid-19 yang digunakan adalah rapid diagnostic test KIT screening berbasis antigen dan antibodi dari China.
"Kita akan bisa memeriksa seorang pasien itu setelah dia on set virusnya mungkin 5,6,7 hari. Dalam konteks ini bisa saja tes KIT tidak mencukupi. Maka kita ingin sekali mengembangkan PCR, yaitu reverse transcription PCR," kata Kepala BPPT, Hammam Riza.
Hammam berharap dengan memiliki alat tes khusus Indonesia bisa menerapkan akurasi pendeteksi Covid-19. "Bila kita hanya menggunakan rapid tes KIT yang diimpor mungkin itu tidak mencukupi, maka kita harus bisa memproduksi sendiri," kata dia.
Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME), Amin Soebandrio, mengatakan, berdsarakan pengalamannya, masalah tes pendeteksi akan sangat tergantung dengan virus yang beredar di masing-masing negara. Sementara itu, Covid-19 selama ini juga bermutasi ketika berada di negara yang berbeda.
Hal ini otomatis membuat antibodi yang dibentuk berbeda dengan yang dibutuhkan terhadap virus lain. Oleh sebab itu, dibutuhkan alat uji tes yang spesifik dengan kondisi di Indonesia.
Dekan FKUI Ari Fahrial Syam mengatakan, untuk membuat purwarupa alat pendeteksi Covid-19 khusus Indonesia membutuhkan waktu minimal empat bulan. Namun, Amin menjelaskan, waktu empat bulan tersebut dengan catatan peneliti harus memiliki antigennya.
Sementara itu, Amin menambahkan, antigen ini harus berdasarkan pada virus yang beredar di Indonesia. Sampai saat ini, belum ada laboratorium yang memiliki virusnya sehingga belum ada antigen virus yang diinginkan. "Jadi kalau empat bulan itu kalau kita punya antigennya," kata dia.
Terkait hal tersebut, Amin mengatakan penting untuk pemerintah melihat KIT mana saja yang bisa digunakan dan memiliki peluang false positive terkecil. Sebab, ditakutkan ketika hasil negatif namun sebetulnya virusnya terdapat dalam orang yang bersangkutan.
Dekan FKUI Ari Fahrian Syam mengatakan hal serupa. Ia mengajukan agar perlu dilakukan uji diagnostik terhadap rapid tes yang dilakukan saat ini. "Karena kita mesti lihat sensitivitasnya bagaimana," kata Ari menambahkan.
Tim konsorsium Covid-19 ke depannya juga berencana menggunakan whole genome sequencing untuk keperluan pembuatan vaksin, deteksi dan epidemiologi Covid-19 Indonesia. Uji diagnostik non PCR yang akan dikembangkan yaitu uji diagnostik cepat atau rapid diagnostic test berbasis antibodi Immunoglobulin G (IgG)/Immunoglobulin M (IgM) dan uji deteksi cepat berbasis antigen. Keduanya akan dikembangkan menggunakan virus yang ada di Indonesia.