Kamis 26 Mar 2020 17:46 WIB

Ini Pahala Mengikuti Fatwa Ulama

Fatwa ulama bisa menjadi pahala bagi yang mengikutinya.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Pahala Mengikuti Fatwa Ulama dan Ulil Amri. Foto: KH Cholil Nafis
Foto: Putra M Akbar/Republika
Pahala Mengikuti Fatwa Ulama dan Ulil Amri. Foto: KH Cholil Nafis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, diimbau untuk mengikuti fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan aturan pemerintah di tengah mewabahnya virus corona atau pandemi Covid-19. Dengan mematuhi ulama dan ulil amri tersebut umat akan terhindar dari bahaya virus corona, bahkan akan menambah pahala bagi yang mematuhinya.

Pengasuh Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok, KH Cholil Nafis mengatakan, mematuhi para ulama sama halnya dengan mematuhi perintah Rasulullah karena ulama sendiri merupakan pewaris nabi.

Baca Juga

“Maka setiap kita mentaati ulama karena mengikuti perintah Rasulullah tentu menjadi pahala. Jadi diam di rumah setiap saat karena mengikuti ulama dan ulil amri, pemerintah, yang itu kebenaran, maka kita mendapat pahala, meskipun kita tidak bekerja apa-apa,” ujar Kiai Cholil saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (26.3).

Dia menjelaskan, sebagai pewaris nabi para ulama tidak mewariskan harta, tetapi mewariskan ilmu. Karena itu, orang awam wajib untuk mengikuti ulama, sehingga pada saat hari pembalasan kelak bisa bersandar kepada ulama.

“Bagi orang awam menjadi kewajiban mengikuti ulama dan nanti ketika sesuatu itu yang dilakukan, dipertanyakan di depan Allah maka ia bisa bersandar kepada ulama,” ucapnya.

Dia menambahkan, dengan mengikuti fatwa ulama juga dapat menghindari prediksi Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa pada akhir zaman kelak akan muncul orang-orang bodoh yang dijadikan pemimpin.

“Orang bodoh itu dijadikan pemimpin. Lalu kalau dimintakan fatwa, tanpa dia tahu dalilnya, dia menyampaikan sesuatu yang salah maka menjadi sesat dan menyesatkan,” katanya

Dalam surah an-Nisa’ ayat 59, Allah SWT juga memerintahkan agar menaati Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri.

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا 

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Pengertian ulil amri pada ayat itu, dalam pandangan banyak tokoh salaf, seperti Jabir bin Abdullah, Hasan al-Bashri, Abu al-Aliyah, Atha’ bin Abi Rabah, ad-Dhahak, dan Mujahid, adalah para ulama. Namun, Syekh Abu Thalhah menegaskan, ketaatan itu tak boleh membabi buta dan memunculkan taklid. Taat kepada ulama, yakni selama berkaitan dengan urusan fatwa dan hukum dalam menyikapi suatu hal.

Jika berkaitan dengan urusan duniawi, ketentuan menyikapi hal itu diserahkan kembali kepada yang bersangkutan. Ini seperti yang pernah dicontohkan Rasulullah dalam peristiwa kawin silang kurma. Rasul menyerahkan hal itu kepada kebiasaan para petani.

Sebagai pewaris para nabi, ulama adalah perantara untuk mengetahui hukum dan permasalahan seputar agama dan keagamaan. Menurut Imam as-Syathibi, bagi mereka yang kebingungan tak semestinya bertanya kepada pihak yang tak berkompetensi atau tak berkemampuan. Sulit diterima akal sehat jika hal itu terjadi. Tradisi umat bertanya dan para ulama menjawab bahwa ini pun menjadi ciri khas masyarakat Muslim dari masa ke masa.

 وَمَآ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۖ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ 

"Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui."  (QS al-Anbiyaa’ [21]: 7).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement