REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA --- Pemerintah telah memutuskan untuk membatalkan Ujian Nasional (UN) di tahun 2020 ini. Kebijakan peniadaan UN 2020 meliputi sekolah maupun madrasah pada tingkat dasar (SD/MI), menengah (SMP/MTs), dan atas (MA/SMA). Peniadaan UN tersebut merupakan bagian dari sistem respons wabah Covid-19, yaitu demi keselamatan dan kesehatan seluruh rakyat Indonesia.
Pengamat sekaligus praktisi pendidikan, Muhammad Nur Rizal, mendukung kebijakan tersebut karena dirasa sangat manusiawi untuk menyelamatkan generasi bangsa. Terlebih upaya melawan dan memotong rantai penyebaran Covid-19 adalah dengan menjaga jarak (social distancing) serta imbauan Presiden Jokowi untuk kerja, belajar, dan ibadah dari rumah.
Menurut Rizal, pemerintah telah menghasilkan kebijakan yang komprehensif dari hulu ke hilir dalam menangani wabah ini, termasuk dalam bidang pendidikan. Bayangkan jika sekitar 8,3 jiwa siswa dari 106 ribu sekolah berkumpul selama tiga hari dalam suasana tertekan mengerjakan soal ujian. Apalagi untuk siswa SD dan SMP tahun ini akan diselenggarakan saat bulan puasa sehingga dapat diperkirakan kondisi tubuh para siswa akan lebih lemah dan menjadi rentan terserang virus korona.
"Sehingga bukannya akan meningkatkan kualitas SDM melalui UN, namun sebaliknya bisa memperluas mata rantai penyebarannya. Generasi kita harus dijaga supaya selalu sehat dan produktif supaya segera bangkit kelak pasca-wabah korona ini nanti,” kata Rizal, Rabu (26/3).
Saat ini masih dikaji beberapa opsi pengganti UN sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kelulusan, termasuk menggunakan nilai rapor. Rizal berpendapat bahwa nilai rapor sudah cukup untuk menggantikan UN, karena rapor adalah refleksi proses belajar selama enam tahun bagi SD/MI dan tiga tahun bagi SMP/MTs dan SMA/MA.
“Dengan rapor, maka proses mengajar guru lebih dihargai dan wewenang kelulusan dimiliki oleh guru yang sehari-hari di lapangan belajar bersama mereka,” ujar Rizal yang merupakan pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM).
Rizal juga menilai keputusan ini bisa menjadi tonggak sejarah untuk merancang ulang arah serta sistem pendidikan selama ini yang sudah tidak relevan dengan era disrupsi yakni revolusi industri 4.0. Kebutuhan dunia kerja tidak lagi pada kecakapan penyeragaman hafalan atau penguasaan materi ajar, tetapi membutuhkan karakter kecakapan hidup seperti membuat keputusan strategis, fleksibel dan gesit menghadapi perubahan yang serba cepat, penuh gejolak, kompleks dan tak menentu ini, serta kecakapan sosial dan pengelolaan emosi agar memiliki empati melihat ketimpangan di depan mata.
Rizal menambahkan kompetensi yang dibutuhkan saat ini adalah kecakapan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi informasi menjadi nilai tambah di berbagai bidang, kecakapan literasi digital memanfaatkan teknologi sangat penting untuk efisiensi dan inovasi. Hal tersebut tidak bisa diukur melalui UN atau diwujudkan dengan proses belajar seperti saat ini.
"Kurikulumnya pun harus dirombak ulang, disederhanakan jumlahnya, prosesnya harus menggunakan pendekatan metakognisi berbasis problem, project, atau riset di kehidupan nyata, serta penilaiannya autentik, berupa umpan balik ke siswa secara langsung (formatif). Penilaian summative (akhir) seperti Ujian Akhir Semester (UAS) dan Ujian Nasional (UN) hanya untuk kebutuhan pemetaan pemerintah saja, bukan siswa atau sekolah, sehingga siswa belajar akan senang termotivasi karena sebagai pelaku bukan obyek pendidikan. Memang, konsekuensinya harus ada perombakan hulu ke hilir mulai struktur pengembangan guru, sekolah hingga LPTK,” kata Rizal menambahkan.
Rizal juga mendukung keputusan Mendikbud agar asesmen karakter dasar di tengah jenjang, namun tidak boleh berhenti di situ. Menurutnya, Kemendikbud harus mengawasi dan memantau daerah untuk tidak membuat ujian daerah yang sifatnya masih hafalan dan berorientasi pada ketuntasan materi ajar.
"Supaya paradigma daerah benar-benar berubah dan publik tidak menjadikan alat perangkingan sekolah yang baru, maka nilai assessment karakter dasar itu jangan dibuka di publik dan jadi syarat masuk ke jenjang berikutnya. Tapi, nilai itu bisa untuk alat pemetaan kualitas guru dan proses KBM di sekolah apakah perlu dibenahi, ditingkatkan dan seterusnya, dimana aka nada personalisasi kebijakan antar sekolah atau daerah,” tuturnya.
Rizal berharap kebijakan peniadaan UN ini harus didukung penuh dan diikuti perombakan mendasar orientasi kebijakan politik dan sistem pendidikan di Indonesia. "Sekali lagi kebijakan presidensial ini harus didukung penuh dan diikuti perombakan mendasar orientasi kebijakan politik dan sistem pendidikan kita," ujar dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknik Informatika UGM ini.