REPUBLIKA.CO.ID, oleh Lilis Sri Handayani
Satu pasien berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19, meninggal dunia saat menjalani perawatan di Rumah Sakit (RS) Mitra Plumbon Indramayu. Pasien laki-laki berusia 49 tahun itu tak sempat dirujuk lantaran semua ruang isolasi di RS rujukan penuh.
Direktur RS Mitra Plumbon Indramayu, Dedi Rohendi, menjelaskan, pasien berjenis kelamin laki-laki umur 49 tahun itu datang ke RS Mitra Plumbon Indramayu pada Senin (23/3) sore. Pasien merupakan warga asli Kabupaten Indramayu, namun tinggal di Bekasi.
"Pasien datang dengan keluhan panas selama empat hari, batuk, pilek, sesak nafas, nyeri kepala dan nyeri seluruh badan," ujar Dedi, Rabu (25/3).
Dedi mengatakan, pasien kemudian dimasukkan ke ruang skrining Covid-19 untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dari pemeriksaan fisik oleh dokter IGD, suhu badan pasien saat itu mencapai 40 derajat celcius.
Dokter spesialis paru lantas menyarankan agar pasien dilakukan pemeriksaan rontgen dan laboratorium. Selain itu, pasien juga disarankan untuk dirujuk ke RS rujukan yang telah ditetapkan pemerintah dalam penanganan Covid-19.
"Pasiennya juga menghendaki agar dirinya dirujuk ke RS rujukan karena pasien cukup mengerti," terang Dedi.
Dedi mengaku pihaknya sudah berusaha menghubungi 14 RS rujukan. Namun, semua rumah sakit itu menyatakan ruang isolasi mereka penuh. Karena itu, pasien akhirnya sementara dirawat di ruangan khusus di RS Mitra Plumbon Indramayu.
Pada Selasa (24/3) pagi, dokter spesialis paru yang memeriksa pasien tersebut tetap menganjurkan agar pasien dirujuk ke RS rujukan. Bahkan, dokter itu pula yang menghubungi langsung RSUD Indramayu. RSUD akhirnya menyatakan siap menerima pasien rujukan tersebut.
Namun, saat pasien hendak disiapkan untuk diberangkatkan menuju RSUD Indramayu, kondisi pasien tiba-tiba memburuk. Nyawa pasien akhirnya tidak tertolong dan meninggal (Selasa) pukul 11.40 WIB.
"Pasien ini (statusnya) PDP," ujar Dedi.
Kasus itupun sudah dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu. Sedangkan jenazah pasien dibawa keluarganya ke Cirebon untuk dikremasi.
Pasien belum sempat dilakukan tes swab oleh tim dari Dinas Kesehatan setempat. Karena itu, hingga jenazah dikremasi, belum didapatkan hasil apakah positif atau negatif Covid-19.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Pengendalian Covid 19, Deden Bonni Koswara mengatakan pasien meninggal saat menunggu proses rujukan.
"Untuk pemeriksaan swab belum dilakukan karena menunggu pasien berada di RSUD Indramayu. Tapi saat dalam proses rujukan, pasien sudah meninggal," terang Deden, Kamis (26/3).
Deden menambahkan, untuk mengantisipasi kelanjutan dari kejadian tersebut, tim surveillance dari Dinas Kesehatan sudah melakukan penelusuran dan pemantauan terhadap keluarga maupun karyawan pasien tersebut. Selama 14 hari ke depan, juga akan mengambil langkah-langkah selanjutnya sesuai protap surveillance.
Sementara itu, hingga Kamis (26/3) pukul 14.00 WIB, Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Kabupaten Indramayu merilis, jumlah total PDP mencapai 14 orang. Dari jumlah itu, baru satu yang dinyatakan negatif. Sedangkan 13 orang lainnya masih dalam pengawasan di rumah sakit.
Sementara itu, untuk orang dalam pemantauan (ODP), jumlahnya mencapai 130 orang. Dari jumlah itu, baru 20 orang yang dinyatakan selesai. Sisanya yang mencapai 110 orang, masih dalam pemantauan.
Apa yang terjadi di Indramayu menunjukkan ketimpangan infrastruktur kesehatan di Indonesia dibandingkan dengan jumlah pendukduk. Analisis oleh Reuters menyatakan, bahwa infrastruktur layanan kesehatan di Indonesia lebih minim dibandingkan dua negara yang kini menjadi episenter corona, Italia dan Korea Selatan (Korsel).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, Indonesia saat ini memiliki 321.544 tempat tidur rumah sakit sehingga rasionya adalah 12 tempat tidur per 10 ribu orang. Sebagai perbandingan, Korsel memiliki rasio 115 termpat tidur untuk 10 ribu orang, berdasarkan data WHO.
Pada 2017, WHO memiliki data yang menggambarkan rasio dokter berbanding pasien di Indonesia adalah empat dokter per 10 ribu orang. Italia memiliki jumlah dokter 10 kali lebih banyak per kapita, sementara Korsel enam kali lebih banyak.