REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alquran menyebut dzikir beberapa kali dalam berbagai surah. Di antaranya adalah surah an-Nisa ayat 103 ("Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring..."). Kemudian, surah ar-Ra'd ayat 28 ("Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram).
Secara harfiah, dzikir berarti menyebut, menuturkan, mengingat, atau mengerti perbuatan baik. Menurut istilah, sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Islam, dzikir adalah ucapan lisan, gerakan raga maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Dzikir juga dimaknai sebagai upaya untuk menyingkirkan keadaan lupa dan lalai kepada Allah. Caranya dengan selalu ingat kepada-Nya. Dzikir mengeluarkan seorang mukmin dari suasana lupa, untuk kemudian masuk dalam suasana musyahadan (saling menyaksikan) dengan mata hati. Hal ini disebabkan adanya dorongan rasa cinta yang mendalam kepada Allah SWT.
Pembagian dzikir
Seorang sufi besar, Ibnu Athaillah al-Sakandari (penulis Al-Hikam) membagi zikir kepada tiga bagian. Pertama, dzikir jali. Artinya, jelas atau nyata. Kedua, dzikir khafi. Inilah dzikir yang samar-samar. Terakhir, dzikir haqiqi atau yang sebenar-benarnya.
Dzikir jali adalah perbuatan mengingat Allah SWT dalam bentuk ucapan lisan, yang mengandung arti pujian, rasa syukur, dan doa kepada Allah.
View this post on Instagram