REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekstremisme sosial keagamaan masih akan menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia sepanjang berbagai persoalan yang menjadi pemantiknya tidak pernah terselesaikan. Meski demikian untuk mengurai wajah ekstremisme sosial keagamaan di Indonesia ini dapat dibagi dalam tiga struktur yang masing-masing berdiri sendiri.
‘’Inilah yang akan menjadi tantangan kita bersama dan perlu kerja sama dari semua untuk mengatasinya,’’ kata Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqqodas, saat menjadi pembicara seminar Pra Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Jakarta, Sabtu (14/3).
Seminar yang mengusung tema 'Ekstremisme Sosial, Keagamaan, dan Perdamaian Semesta' dibuka oleh Menteri Agama (Menag), Fachrul Razi dan menghadirkan sejumlah narasumber. Di antaranya Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra, Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Dr Richard Daulay dari The International Reformed Theological Institutions, Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Prof Noorhaidi Hasan, dan Wakil Dekan IV FIKIF Uhamka Dr Izza Rohman Nahrowi.
Busyro lantas menguraikan tiga wajah atau kelompok ekstremisme sosial keagamaan yang ada di Tanah Air, pertama yaitu sekelompok kecil masyarakat memiliki pemahaman keagamaan yang sangat fanatik atau ultra fanatik.
Mereka ini lanjut dia tidak mengenal pendekatan ijtihad dan dialog. "Kelompok ini ada imam besar, imam besar ini mempunyai otoritas tunggal, sampai membaiat, (ada) prinsip ketaatan pada imam (mulai dari) ketaatan doktrin, ketaatan amal, ketaatan mencari suami atau istri," kata Busyro.
Ia menambahkan memang ada kelompok kecil pengajian, tapi yang mengisi pengajian selalu si A saja. Doktrin si A kalau jamaahnya masuk kelompok lain menjadi kafir. Doktrin takfiri itu sampai sekarang masih ada. Mengenai dari mana asalnya paham itu yang jelas bukan dari Muhammadiyah.
Kekuatan luar
Kemudian wajah ekstremisme sosial kedua adalah, dari kelompok pertama tadi ditambah ada semacam kekuatan luar yang mengorganisasi. Mereka masuk ke dalam dengan menyebarkan isu-isu tentang pemikiran yang radikal, ekstrem, dan yang menghadapkan umat Islam dengan pemerintah "Serta menghadapkan Islam dengan Pancasila, itu ada. Kondisi seperti ini dimulai sejak 1977 sampai sekarang, datanya kami punya," ujar dia.
Kelompok ketiga lanjut mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu adalah ekstremisme sosial yang disebabkan karena adanya ketidakadilan sosial. Hal ini menimbulkan kesenjangan ekonomi akibat dari proses politik yang melalui proses demokrasi liberal di Indonesia.
Pembicara yang lain Wakil Dekan IV FIKIF Uhamka Dr Izza Romah Nahrowi berpandangan bahwa ekstremisme sosial keagamaan selalu berpijak pada pemaknaan, pemahaman, ataupun penafsiran tertentu atas kitab suci. Karena itulah penafsiran yang berpijak pada teks-teks keagamaan belum tentu menjadi pemahaman yang utuh karena dianggap sebagai metode pemahaman baru.
Sebagai jalan keluarnya, Izza mengajak semua pihak untuk menghadapi ekstremisme yang didasarkan pada tafsir atas doktrin agama, maka yang diperlukan adalah pendekatan berupa solusi alternatif yang mencegah ekstremisme kekerasan di masyarakat.
Pandangan berbeda disampaikan oleh Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang melihat ekstremisme beragama dapat dipicu akibat kelakuan cara berpikir yang berkombinasi dengan penegakan hukum yang lemah. Oleh karena itu, Usman berkesimpulan bahwa pendekatan penegakan hukum setidaknya dapat memperkuat pemahaman kita semua atas teks-teks keagamaan yang hanya dipahami secara ekstrem.
‘’Saya sangat berharap kepada Muhammadiyah agar ikut mendorong pembaruan penegakan hukum, pendidikan, serta kebudayaan,’’ pintanya.
Pada bagian lain Busyro juga menyoroti soal demokrasi transaksional yang sejatinya sangat berbahaya bagi Pancasila, UUD 1945, dan kesatuan bangsa. Ia kemudian mencontohkan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang akan berlangsung pada pertengahan tahun ini, menurutnya sangat mustahil tidak ada pilkada yang tidak memakai politik uang.
Oleh sebab itu Busyro mengingatkan, sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, jika diturunkan dan diisi secara moral akademis intinya adalah agama. Apabila demokrasi itu hasil dari proses transaksional, maka terbentuklah birokrasi kleptokrasi yang penuh dengan ketidakjujuran.