Jumat 27 Mar 2020 18:01 WIB

Memperkuat Islam Wasathiyah dan Kebangsaan

Kaum muda Muhammadiyah diharapkan terlibat aktif menggaungkan Islam Wasathiyah.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Yusuf Assidiq
Logo Muhammadiyah.
Foto: Antara
Logo Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menurunnya tensi ekstremisme sosial keagamaan di Indonesia saat ini perlu dibarengi dengan program guna memperkuat Islam Wasathiyah dan kebangsaan. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan harus melatih para guru untuk kemudian menyebarkan Islam Wasathiyah kepada murid dan mahasiswa.

Pada saat yang sama, kaum muda Muhammadiyah sebagai penerus cita-cita KH Ahmad Dahlan, juga dapat memberikan kontribusi agar paham keagamaan di kalangan mereka tidak dimasuki oleh paham-paham lain yang tak sejalan dengan Muhammadiyah bahkan tidak sejalan dengan Islam Wasathiyah. Apabila kedua hal ini dapat dikolaborasikan maka masa depan Islam yang maju akan terletak pada Islam Wasathiyah.

Demikian kesimpulan yang disarikan dari pendapat dua narasumber yakni Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof Azyumardi Azra, dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Prof Noorhaidi Hasan, di Jakarta, Sabtu (14/3). Keduanya menyampaikan pandangannya dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah ke-48 bertema “Ekstremisme Sosial-Keagamaan dan Perdamaian Semesta” di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Jakarta.

Menurut Prof Azyumardi, dibandingkan beberapa tahun lalu harus diakui bahwa ekstremisme sosial keagamaan di Indonesia sudah banyak mengalami penurunan. Meski begitu perlu ada langkah-langkah antisipasi yang tepat sasaran. Karena ia meyakini bahwa sikap ekstrem dan radikal tidak punya masa depan.

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) ini menambahkan, paham radikal tidak berasal dari umat Islam atau ormas Islam Indonesia. Islam radikal datangnya dari luar negeri seperti dari Taliban, ISIS, dan Al Qaeda. Menurutnya, DNA umat Islam Indonesia adalah Wasathiyah sejak dulu.

“Sejak penyebaran Islam di Nusantara sejak abad 13 itu Islam yang Wasathiyah dan inklusif yang bisa hidup berdampingan dengan damai dan komunikatif dengan budaya,” ujarnya.

Prof Azyumardi menegaskan, jika masih ada orang yang terjerumus pada paham Islam radikal adalah gejala sosial yang wajar. Tapi meski wajar tidak bisa dibiarkan, artinya harus tetap diantisipasi. “Namanya manu­sia ada saja yang nakal dan terjerumus, kalau tidak ada manusia yang nakal dan terjerumus tentu tidak perlu ada Nabi,” kata dia.

Keterlibatan kaum muda

Keterlibatan kaum muda khususnya Muhammadiyah dalam menekan pertumbuhan ekstremisme sosial keagamaan sangat dibutuhkan menurut Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Noorhaidi Hasan. Bahkan ia mengharapkan kaum muda Muhammadiyah terlibat aktif menggaungkan Islam Wasathiyah melalui media yang digemari anak-anak milenial seperti buku, komik, maupun meme di media sosial.

Ia juga berharap agar kaum muda Muhammadiyah terlibat aktif dalam aksi-aksi perdamaian, menyalurkan energi positif, dan berupaya intensif dalam pencegahan konflik. ‘’Misalnya mengembangkan gerakan filantropi untuk mendorong munculnya kreativitas anak muda sehingga mereka tidak lagi menjadi objek paparan radikalisme dan ekstremisme,’’ tegas­nya.

Lebih jauh ia berpendapat tingginya angka pengangguran, ketiadaan fungsi struktur keluarga, dan ekslusi sosial dapat memicu bergabungnya kaum muda dalam radikalisme dan terorisme. Di sisi yang lain, tidak bisa dimungkiri bahwa kaum muda memiliki watak ‘rebellious’ (memberontak).

Mereka ini sangat terbebani oleh ketidakpastian ekonomi, dan kerap merupakan korban kekerasan dan kestabilan politik. ‘’Dari sinilah radikalisme dan terorisme menjadi tempat pelarian kaum muda atas kekecewaan mereka terhadap situasi yang dihadapi,’’ urainya.

Ia mengungkapkan, anak-anak muda berusia antara 15 dan 29 tahun merupakan sektor sosial paling rawan terpapar radikalisme dan terorisme karena menjadi tulang punggung organisasi-organisasi radikal dalam menggelar aksi-aksi kekerasan. Menu­rutnya, radikalisme dan terorisme bisa dianggap pelarian kekanak-kanakan kaum muda atas kekecewaan mereka terhadap situasi yang dihadapi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement