REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi Mirza Adityaswara mengingatkan potensi risiko yang bakal dihadapi sektor perbankan nasional terkait dengan kebijakan relaksasi kredit yang dikeluarkan pemerintah guna mengantisipasi dampak wabah covid-19. Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi berupa penundaan pembayaran cicilan kredit selama satu tahun.
Menurut Mirza, kebijakan relaksasi kredit ini harus diluruskan dan dikaitkan dengan POJK 11/2020. "Perlu diketahui, bank dan lembaga pembiayaan hanyalah lembaga intermediary (lembaga perantara)," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (27/3).
Mirza menuturkan, masyarakat harus memahami bahwa kredit perbankan dan kredit lembaga pembiayaan seperti darah di tubuh. "Artinya tanpa aliran kredit maka perekonomian akan berhenti," ucapnya.
Di lain pihak, lanjutnya, hal yang sering dilupakan oleh debitur adalah bahwa sumber dana bagi bank dan lembaga pembiayaan untuk memberikan kredit berasal dari tabungan dan deposito milik masyarakat yang disimpan di perbankan. Karenanya, menurut Mirza, jika semua debitur tidak mau membayar cicilan, padahal sebagian besar mampu membayar maka menyebabkan kerugian besar di sektor perbankan dan lembaga pembiayaan.
"Karena pihak bank harus tetap membayar bunga kepada penabung (deposan), tetapi di lain sisi bank tidak menerima pendapatan dari debitur," tuturnya.
Lebih lanjut mantan deputi gubernur senior Bank Indonesia juga mengingatkan bahwa sekitar 30 persen kredit perbankan adalah kredit sektor konsumsi (KPR, KPM, dan lain-lain), dan sekitar 15-20 persen adalah kredit UMKM. "Sehingga kita menghadapi risiko default yang disengaja untuk eksposur 40 persen sampai dengan 50 persen kredit nasional atau setara dengan Rp 2.500 triliun," paparnya.
Jika hal tersebut terjadi, ungkap Mirza, maka akan membangkrutkan ekonomi Indonesia. Maka dari itu, kata dia, maksud dari paket stimulus relaksasi kredit ini harus disikapi dengan bijaksana.
Aturan tersebut, menurutnya, memberikan kelonggaran bagi bank dan lembaga pembiayaan untuk masing masing menganalisa mana debitur yang benar-benar terdampak langsung oleh Covid-19, mana yang setengah terdampak dan mana yang tidak terdampak. "Jadi , bukan untuk semua debitur," ujarnya.
Terlebih lagi, kata Mirza, Peraturan OJK tersebut secara jelas menyatakan bahwa harus menghindari moral hazard, yaitu jangan debitur yang sehat menjadi tidak mau bayar utang ataupun debitur yang sudah macet sebelum adanya Covid-19 kemudian menjadi tidak kooperatif. "Kita harus bersama-sama menjaga kesehatan pribadi, tapi kita juga harus menjaga kesehatan ekonomi Indonesia dalam menghadapi Covid 19," tuturnya.