Sabtu 28 Mar 2020 07:31 WIB

Hotel Mewah Singapura untuk Karantina Warga dari Luar Negeri

Singapura mengkarantina warga dari luar negeri di sebuah hotel mewah di Marina Bay.

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Hotel mewah Marina Bay Sands, Singapura
Foto: reuters
Hotel mewah Marina Bay Sands, Singapura

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA — Seorang ahli biologi asal Singapura bernama Marcus Chua baru saja berulang tahun ke-36 pada Kamis (26/3) kemarin. Di tengah kondisi pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) saat ini, ia harus melewati cara yang tidak biasa dalam merayakan pergantian umurnya. 

Chua menginap di sebuah hotel mewah di kawasan Marina Bay, yang memiliki pemandangan kota menakjubkan. Ia menjadi satu dari sekian banyak orang di Singapura yang harus mematuhi peraturan untuk dikarantina selama 14 hari ke depan, karena baru saja kembali dari Amerika Serikat (AS). 

Baca Juga

Menginap di hotel menjadi pilihan yang harus dijalani Chua setelah kembali dari AS pada Kamis (26/3) malam. Pihak berwenang mengharuskan karantina mandiri terhadapnya dilakukan, sehingga, ia tak dapat kembali ke rumahnya di Singapura hingga 14 hari ke depan. 

"Meskipun sangat disayangkan bahwa saya tidak dapat melihat keluarga saya setelah tiba di Singapura, itu sebenarnya pilihan saya untuk tinggal di tempat lain sehingga sedikit kesempatan bagi saya untuk menularkan virus kepada orang lain jika saya telah terinfeksi," ujar Chua seorang mahasiswa PhD di George Mason University, Washington DC, dilansir The Strait Times, Jumat (27/3). 

Kementerian Kesehatan Singapura memutuskan pada Selasa (24/3) bahwa semua warga yang kembali dari Inggris dan AS terhitung mulai pukul 23.59 harus menjalani karantina mandiri di fasilitas khusus. Mereka tidak diperbolehkan kembali ke rumah masing-masing terlebih dahulu karena dua negara tersebut merupakan bagian terbesar dari kasus Covid-19 impor di Singapura. Sekitar 1.200 orang setiap harinya telah kembali dari dua negara Barat tersebut. 

Orang-orang yang kembali dari Inggris dan AS akan disiapkan kamar tidur dan kamar mandi sendiri, lengkap dengan makanan yang disediakan. Dengan demikian, tak ada kontak fisik terjadi dengan orang lain terjadi. 

Chua yang ditempatkan di sebuah kamar dengan balkon yang menawarkan pemandangan Marina Bay Singapura mengatakan bahwa pemerintah negaranya mengambil langkah brilian untuk mendukung industri perhotelan, sekaligus mengendalikan pandemi. Ia mengatakan bahwa orang-orang yang tiba dari luar negeri seperti dirinya mendapatkan tas binatu khusus untuk  mencegah kontaminasi dan diberitahu bahwa pemeriksaan langsung akan dilakukan melalui panggilan atau pesan teks.

Chua yang merupakan seorang ahli biologi bidang mamalia di National History Museum Lee Kong Chian, National University of Singapore (NUS), mengatakan bahwa awalnya mempertimbangkan untuk tetap tinggal di AS. Tetapi krisis yang meningkat di sana dan atas rekomendasi dari NUS dan Kedutaan Singapura untuk kembali ke negara asal, membuat ia berubah pikiran.

Pada awalnya, Chua memesan tiket penerbangan kembali ke Singapura pada 1 April mendatang, tetapi dibatalkan oleh maskapai yang dipilihnya. Beberapa rekannya di NUS telah mengumpulkan data tentang penerbangan sebelumnya antara Washington dan San Francisco, tempat penerbangan Singapore Airlines yang akan pulang dari negara asal dan menganalisis untuk menemukan rute yang memiliki kemungkinan paling kecil dibatalkan.

Beruntung, penerbangan Alaska Airlines berangkat tepat waktu dan Chua bisa kembali ke Singapura melalui San Francisco. Ketika tiba di Bandara Changi, Chua dan para penumpang lainnya diberikan informasi oleh petugas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan, kemudian dibawa ke hotel dalam kelompok 15 orang. 

"Sempurna untuk menjaga jarak sosial. Saya tidak bisa lebih terkesan dan bangga dengan tanggapan Singapura terhadap Covid-19,” ujar Chua. 

Meski tidak bisa melakukan kegiatan apapun di hotel tempat karantina, seperti berenang, Chua mengaku tidak merasa bosan hanya berada di kamar. Ia berencana untuk melanjutkan perkuliahan yang dilakukan melalui kelas online, sambil menunggu waktu yang aman dan dapat bertemu kembali dengan keluarga, serta teman-temannya. 

“Ketika semua tugas sudah selesai, masih ada streaming video dan dua buku untuk dibaca. Saya juga memiliki teropong untuk mengamat hewan di luar jendela, seperti burung hutan (junglefowls) dan burung raja (kingfishers) pagi ini,” kata Chua.

Virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan infeksi penyakit Covid-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, Ibu Kota Provinsi Hubei, China pada Desember 2019. Sejak saat itu, virus terus menyebar secara global ke berbagai negara lainnya di dunia. 

Menurut data Worldometers, hingga Jumat (27/3) pagi, jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia tercatat mencapai 529.614 dengan 213.976 meninggal dunia dan 123.380 pasien dinyatakan sembuh. Terdapat 200 negara yang telah mengkonfirmasi kasus positif infeksi virus corona jenis baru ini.

Saat ini AS menjadi negara dengan kasus Covid-19 terbesar dengan jumlah kasus mencapai 83.672. Sementara, China berada di urutan nomor dua dengan 81.285 kasus dan Italia dengan 80.589 kasus. 

Covid-19 yang berasal dari keluarga virus corona yang sama dengan beberapa wabah lainnya, yaitu SARS (sindrom pernapasan akut parah) dan MERS (sindrom pernapasan Timur Tengah) menjadi lebih mematikan dengan tingkat penyebaran yang cepat. Saat wabah SARS terjadi pada 2002-2003, sebanyak 774 orang meninggal, sementara MERS yang mewabah sejak 2012 tercatat menewaskan sedikitnya 828 orang. 

Bagi kebanyakan orang, infeksi virus corona jenis baru menyebabkan gejala ringan atau sedang, seperti demam dan batuk yang hilang dalam dua hingga tiga minggu. Namun, sebagian orang, terutama orang dewasa yang lebih tua dan orang-orang dengan masalah kesehatan yang telah ada, Covid-19 dapat menimbulkan gejala yang lebih parah, termasuk pneumonia, dan bahkan kematian.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement