Sabtu 28 Mar 2020 15:11 WIB

Papdi: Petik Pelajaran dari Kasus Corona Italia, AS, Jerman

Sekjen Papdi serukan pemerintah petik pelajaran dari kasus corona Italia, AS, Jerman.

Rep: Santi Sopia/ Red: Reiny Dwinanda
Petugas medis berjalan di Roma saat Italia tengah dilanda virus corona. Sekjen Papdi serukan pemerintah petik pelajaran dari kasus corona Italia, AS, Jerman.
Foto: Angelo Carconi/EPA
Petugas medis berjalan di Roma saat Italia tengah dilanda virus corona. Sekjen Papdi serukan pemerintah petik pelajaran dari kasus corona Italia, AS, Jerman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) dr Eka Ginanjar SpPD-KKV mengatakan bahwa setiap orang dari berbagai rentang usia memiliki risiko tertular virus corona. Ia pun mengingatkan agar pemerintah harus tegas dalam memutuskan langkah penanganan.

Eka mengatakan, pemerintah dapat mengambil pelajaran dari kesalahan negara lain dalam merespons pandemi Covid-19. Italia, contohnya, kini telah menjadi episentrum penyebaran penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus corona tipe baru itu di Eropa dengan 86.498 total kasus dan 9.134 kematian per Sabtu (28/3) siang.

Baca Juga

Dibandingkan dengan seluruh negara, angka kasus kematian di Italia tertinggi, bahkan melebihi China, tempat awal wabah ini menyebar. Per hari yang sama, China mencatatkan 81.394 total kasus dan 3.295 kematian.

"Perhatikan juga angka kematian Amerika Serikat (AS) yang lebih rendah daripada Italia dan Jerman jauh lebih rendah lagi," kata Eka kepada Republika.co.id, ketika dihubungi, Sabtu (28/3).

Sebagai catatan, Italia melaporkan 50.971 total kasus dengan 351 kematian pada Sabtu siang. Eka menjelaskan, sistem pelayanan kesehatan AS lebih baik daripada Cina dan Italia.

Menurut Eka, ada dua variabel independen dalam masalah ini, yakni pengendalian penyebaran penyakit dan kemampuan kapasitas fasilitas kesehatan dalam menghadapi bencana ini. Ia menjelaskan, harus ada intervensi terhadap keduanya.

"Tindakan cepat. Intervensinya harus di kedua premis. Tidak bisa hanya salah satu," katanya.

Untuk mengontrol sebaran penyakit, beberapa negara menerapkan model yang sederhana, yakni detect, cluster, dan contain. Itu berarti ada pendeteksian, pengelompokan (klaster), dan karantina.

Eka menjelaskan, lockdown Jabodetabek seharusnya dijalankan pada fase awal. Ia mencermati penyebaran ke daerah telat dicegah.

"Kalau memungkinkan, laksanakan UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yaitu karantina wilayah," ungkap Eka,

Bila penyakit sudah masuk, menurut Eka, strategi detect, cluster, dan contain yang harus dilakukan adalah pendeteksian dengan memakai screening aktif lalu membuat klaster-klasternya. Dari klaster-klaster ini dilakukan pelacakan kontak yang intensif.

"Lalu, masing-masing cabang dari klaster ini kita karantina sampai selesai masa inkubasi atau masa yang lebih lama untuk memastikan rantai penularan putus," katanya.

Sejalan dengan itu, pemerintah harus menambah dan meningkatkan fasilitas kesehatan antara lain fasilitas fisik, sarana dan prasarana, perekrutan SDM tambahan, dan penyediaan alat pelindung diri (APD) yang lengkap. "Juga harus ada penyusunan sistem kerja. Misalnya, tim A dan tim B bekerja bergantian. Sediakan juga dukungan SDM seperti penginapan karena harus dikarantina dari keluarga dan pemberian insentif," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement