REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa 14/2020 membolehkan Muslim yang sehat untuk mengganti shalat Jumat dengan shalat Zhuhur di rumah dan meninggalkan shalat lima waktu, shalat Tarawih, dan shalat Id di masjid atau tempat umum jika penyebaran wabah corona atau Covid-19 di daerahnya tidak terkendali. Fatwa ini kemudian diikuti berbagai kalangan di daerah dengan memperhatikan keadaan wabah setempat. Banyak masyarakat Muslim yang memutuskan shalat lima waktu di rumah, termasuk shalat Zhuhur sebagai pengganti shalat Jumat, agar penyebaran wabah corona di daerah mereka tidak meluas.
Lalu, bagaimana dengan pahala shalat di rumah? Apakah pahalanya sama ketika melaksanakan shalat di masjid dalam kondisi sekarang ini?
Ustaz Muhammad Azizan Lc menjelaskan, dalam kaidah fikih disebutkan bahwa menolak mafsadah atau kerusakan jauh lebih diutamakan dari mengambil maslahat. Ustaz Azizan melanjutkan, pahala shalat berjamaah memang sangat besar, tetapi tetap mengadakan shalat berjamaah dalam situasi wabah seperti sekarang ini berpotensi mendatangkan kerusakan yang jauh lebih besar daripada maslahat shalat berjamaah.
"Bagi yang terbiasa shalat berjamaah di masjid maka tidak perlu khawatir atau sedih kehilangan pahala shalat berjamaah karena sesungguhnya jika seseorang meninggalkan ibadah yang biasa dia lakukan karena alasan syar'i maka dia tetap mendapat pahala ibadah tersebut," tutur alumnus Fakultas Syariah Universitas al-Imam Muhammad bin Su'ud Riyadh Cabang Jakarta itu.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
حَدَّثَنَا مَطَرُ بْنُ الْفَضْلِ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا الْعَوَّامُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ أَبُو إِسْمَاعِيلَ السَّكْسَكِيُّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا بُرْدَةَ وَاصْطَحَبَ هُوَ وَيَزِيدُ بْنُ أَبِي كَبْشَةَ فِي سَفَرٍ فَكَانَ يَزِيدُ يَصُومُ فِي السَّفَرِ فَقَالَ لَهُ أَبُو بُرْدَةَ سَمِعْتُ أَبَا مُوسَى مِرَارًا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Telah bercerita kepada kami Mathar bin al-Fadhl telah bercerita kepada kami Yazid bin Harun telah bercerita kepada kami 'al-'Awwam telah bercerita kepada kami Ibrahim Abu Isma'il as-Saksakiy berkata; Aku mendengar Abu Burdah pernah bersama dengan Yazid bin Abi Kabsyah dalam suatu perjalanan di mana Yazid tetap berpuasa dalam safar, lalu Abu Burdah berkata; "Aku sering mendengar berkali-kali Abu Musa berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda, "Jika seorang hamba sakit atau bepergian (lalu beramal) ditulis baginya (pahala) seperti ketika dia beramal sebagai muqim dan dalam keadaan sehat." (HR Bukhari)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Baari (6: 136) memaparkan, hadits tersebut berlaku untuk orang yang ingin melakukan ketaatan yang kemudian terhalang untuk melakukannya, padahal sudah berniat akan menjaga amalan tersebut secara rutin jika tidak ada yang menghalangi.
Ustaz Azizan menyadari, mungkin bagi sebagian orang berat melepaskan peluang mendapat pahala shalat berjamaah. Namun, beribadah harus melihat dan mempertimbangkan seluruh aspek. Di antaranya adalah apakah ibadah tersebut tidak menimbulkan kerusakan jika dikerjakan atau justru menimbulkan potensi kerusakan yang lebih besar.
Penyebaran virus Covid-19 begitu masif. Apalagi, sebagian besar orang yang terjangkit virus itu tidak menampakkan gejala. Para ahli medis menyampaikan, penderita yang memiliki gejala hanya 15 persen, sementaraa 85 persen penderita tidak menyadari sedang terjangkit. Pada waktu yang sama ia menularkan virus tersebut ke banyak orang sehingga tersebar wabah mematikan ini.
Pada hakikatnya, menurut Ustaz Azizan, ketika seorang Muslim menahan diri untuk tidak pergi ke masjid dalam situasi saat ini maka ia sedang menjaga nyawa Muslim lainnya dari kematian akibat wabah corona yang kian hari kian meningkat. Dengan demikian, pahala melakukannya pun besar di sisi Allah ta'ala.
Allah SWT berfirman dalam al-Maidah ayat 32: "Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya."
Karena itu, menurut Ustaz Azizan, sudah seharusnya dewan kemakmuran masjid (DKM) di wilayah tempat wabah sudah tidak terkendali menutup sementara kegiatan-kegiatan berjamaah di masjid, baik itu kajian, shalat berjamaah, maupun shalat Jumat. Sebab, kebijakan yang dibuat menentukan kemaslahatan banyak manusia.
Sebaliknya, bila salah menentukan kebijakan maka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT dan akan sangat berat di hari kiamat kelak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْأَمِيرُ رَاعٍ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abdan, telah mengabarkan kepada kami Abdullah, telah mengabarkan kepada kami Musa bin Uqbah dari Nafi' dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang amir adalah pemimpin. Seorang suami juga pemimpin atas keluarganya. Seorang wanita juga pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya. Maka setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR Bukhari).