Ahad 29 Mar 2020 12:23 WIB

Peneliti: Jatim Alami Perubahan Ketinggian Permukaan Tanah

Perubahan ketinggian permukaan tanah ini baik karena faktor alami maupun non-alami.

Ilustrasi jalan di Surabaya, Jawa Timur. Peneli menyebutkan beberapa daerah di Jawa Timur mengalami perubahan ketinggian permukaan tanah seperti Surabaya.
Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Ilustrasi jalan di Surabaya, Jawa Timur. Peneli menyebutkan beberapa daerah di Jawa Timur mengalami perubahan ketinggian permukaan tanah seperti Surabaya.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Ketua Grup Riset Geoinformatika Fakultas Ilmu Komputer (Filkom) Universitas Brawijaya (UB) Malang Fatwa Ramdani mengemukakan beberapa daerah di Jawa Timur mengalami perubahan ketinggian permukaan tanah karena faktor alami maupun buatan. Berdasarkan hasil penelitian data satelit oleh Grup Riset Geoinformatika Filkom UB Malang, perubahan permukaan tanah di Jawa Timur ini ada yang mengalami kenaikan dan penurunan yang disebabkan oleh faktor alam maupun non-alam.

"Jika terjadi karena faktor alam, perubahan yang terjadi skalanya kecil. Sedangkan perubahan karena faktor manusia justru menimbulkan dampak masif (berskala besar)," kata Fatwa Ramdani di Malang, Jawa Timur, Ahad (29/3).

Baca Juga

Ia mencontohkan perubahan karena faktor manusia, di antaranya pembangunan infrastruktur, industrialisasi, pembangunan dan pemakaian air tanah yang terjadi secara terus menerus seperti di bagian utara Surabaya dan Gresik. Sementara penurunan permukaan tanah, lanjutnya, karena berada di daerah patahan lempeng bumi (karena faktor alam) terjadi di bagian Malang Selatan. 

“Kondisi ini sudah divalidasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)," ucapnya.

Penurunan muka tanah yang terjadi di wilayah Surabaya, kata Fatwa, diduga karena eksploitasi air tanah yang berlebihan. Penurunan permukaan tanah ini bisa berdampak negatif, seperti banjir, longsor hingga robohnya infrastruktur.

Menurut Fatwa, penurunan permukaan tanah ini dapat meluas karena tanah sifatnya kontinyu bukan diskrit atau terpisah-pisah. Untuk itu, perlu ada kerja sama yang baik antara peneliti dan pemerintah dalam upaya mencerdaskan masyarakat serta upaya meningkatkan kepedulian untuk menjaga kondisi lingkungan.

"Peneliti harus lebih banyak menyebarluaskan data dan informasi kepada masyarakat sebagai bentuk pencerdasan sebagai kontribusi pengabdian. Sementara pemerintah bisa menjalankan fungsi kontroling dan penegakan hukum yang baik," paparnya.

Fatwa menambahkan hukum mengenai perlindungan lingkungan atas dampak pembangunan sudah ada, namun penegakan dan kontrolingnya masih lemah di Indonesia. "Di mana pembangunan?, kenapa dibangun?, layak tidak dibangun? di situ harus jelas," ujarnya.

Selain itu, bagaimana dengan kondisi tanah dan airnya. Kalau perlu pemerintah juga memberikan insentif kepada masyarakat atau pengusaha yang telah melakukan konservasi air tanah atau berkontribusi pada pelestarian lingkungan.

Sedangkan bagi masyarakat dapat berpartisipasi aktif menjaga lingkungan dengan membuat sumur resapan, melakukan penghijauan di tingkat rumah tangga dan melakukan sistem pemanenan air hujan.

“Kalau ada tanah kosong jangan dibangun, tapi ditanami pohon untuk menahan tanah dan air, karena penurunan tanah sering kali terjadi akibat air tanah menghilang dan beban di atas tanah bertambah. Memanen air hujan, maksudnya jangan membiarkan air hujan langsung dibuang ke saluran drainase tapi dibiarkan masuk ke dalam tanah," paparnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement