REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, pihaknya bersama pemerintah, Komisi II DPR RI dan berbagai pihak terkait, perlu mengkaji dampak perubahan hari pemungutan suara Pilkada 2020. Apabila perubahan itu dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada, maka perlu dipikirkan dampaknya terhadap pasal-pasal lain selain ketentuan tentang waktu pemungutan suara.
"Tentu kita bersama harus mengkaji dampak-dampak yang saya sebutkan tadi. Termasuk melihat apakah hanya pasal tentang hari pemungutan suara saja yang harus direvisi ataukah juga ada pasal-pasal lain yang kemudian terkena dampak ini, dia juga harus dilakukan revisi," ujar Arief dalam telekonferensi di Jakarta, Ahad (29/3).
Arief mengatakan, beberapa ahli telah menyatakan cukup syarat diterbitkannya Perppu Pilkada untuk menunda Pilkada 2020 karena pandemi virus corona terus meningkat di Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 201 ayat (6), menyebutkan secara eksplisit, pemungutan suara kepala daerah hasil pemilihan 2015 dilaksanakan pada September 2020.
Sebab, jika melakukan revisi UU Pilkada melalui jalur pembahasan di DPR RI, akan memakan waktu lama. Apalagi wabah Covid-19 yang terus meluas serta keharusan melakukan protokol pencegahan penyebaran virus corona. Opsi kelanjutan pilkada yang disusun KPU, salah satunya terkait opsi penundaan Pilkada 2020 selama satu tahun hingga September 2021. Hal ini sebagai antisipasi wabah virus corona karena pemerintah pun belum bisa memastikan kapan Indonesia terbebas dari pandemi global ini.
Arief mengasumsikan, September 2021 masyarakat dan penyelenggara pemilu sudah bisa bebas bergerak melakukan aktivitas pelaksanaan tahapan pilkada. Opsi penundaan pilkada di waktu sebelum September 2021, masih dianggap riskan karena belum pastinya virus corona bisa diatasi.
Sebab, kata Arief, tak baik pula jika Perppu beberapa kali diterbitkan untuk mengubah hari pemungutan suara. Maka, perubahan aturan itu harus dipikirkan secara mendalam terhadap implikasinya di kemudian hari. Misalnya saja, beberapa tahapan Pilkada 2020 yang sudah berjalan sebelum adanya penundaan empat aktivitas yang ditunda, seperti sinkronisasi data pemilih. Jika benar Pilkada 2020 ditunda dari 23 September 2020 ke September 2021, maka hasil sinkronisasi itu sudah tidak berlaku lagi.
Jarak waktu satu tahun dapat mengubah siapa saja yang berhak mengikuti Pilkada 2020 seperti batasan usia pemilih. Kemudian, terhadap ketentuan peserta pilkada yang sama apa bisa diikutkan dalam pemungutan di September 2021, mengingat masa jabatan beberapa daerah juga akan berakhir sebelum September 2021.
"Ataukah kepala daerah diperpanjang sampai 2021 maka daerah itu juga akan bisa diikutkan dengan pilkada September 2021. Penjabatnya, akan lebih banyak daerah yang diisi penjabat kau memang memundurkan dan menunda tahapan. Ada beberapa konsekuensi," kata Arief.