Senin 30 Mar 2020 09:34 WIB

Ketika Netanyahu Mempolitisasi Corona

Netanyahu akan memanfaatkan Coronavirus untuk karier politiknya: terus berkuasa.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: ROL
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram

Apa yang dikhawatirkan aliansi politik partai-partai Arab-Palestina di Israel kini benar-benar terjadi. Aliansi --lebih dikenal dengan sebutan Joint List Arab (al Qoimah al ‘Arabiyah al Musytarakah)--  ini sebelumnya mengkhawatirkan Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu akan memanfaatkan Coronavirus untuk karier politiknya: terus berkuasa dan sekaligus selamat dari proses hukum tiga tuduhan kriminal  -- suap, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan.

Caranya, dengan memecah-belah Koalisi Kahol Lavan (Blue and White), sayap tengah-kiri, pimpinan politikus Benny Gantz, saingannya. Yaitu dengan menawarkan untuk membentuk pemerintah persatuan yang fokus memerangi penyebaran Coronavirus. Kata Netanyahu, bukan saatnya membicarakan pertikaian politik. Semua pihak harus bersatu dan fokus untuk memerangi penyebaran Coronavirus. Hingga Jumat (27/3), warga Israel yang terinfeksi positif Covid-19 mencapai 3.035 orang, puluhan di antaranya meninggal dunia.

Sebelumnya, Koalisi Blue White yang memperoleh 33 kursi parlemen (Knesset) pada pemilu 2 Maret silam menggalang koalisi yang lebih besar dengan beberapa partai, antara lain dengan Joint List Arab (15 kursi). Dengan koalisi besar ini mereka mendapatkan 62 kursi dari total 120 kursi Knesset. 

Atas dasar ini Presiden Israel Reuven Rivlin pada dua pekan lalu menunjuk Gantz untuk membentuk pemerintahan, menggantikan Netanyahu. Ia mempunyai waktu 28 hari untuk menyusun kabinetnya.

Namun, ketika proses politik itu berjalan, Netanyahu, 70 tahun, bermanuver. Politisi berpengalaman dan sudah lebih 10 tahun menjadi PM tampaknya tahu kapan, bagaimana, dan harus mengatakan apa. Ia juga tahu betul bagaimana menjebak lawan-lawan politiknya, termasuk Benny Gantz, 60 tahun, mantan Kepala Staf Militer Israel, yang baru dua tahun masuk gelanggang politik.  

Maka, ketika Netanyahu menawarkan membentuk pemerintahan persatuan, di tengah mewabahnya Covid-19, terjadilah drama politik itu. Pemimpin Koalisi Blue White Benny Gantz menerima dirinya dipilih untuk menjadi Ketua Knesset, namun bukan dari koalisinya. Ia terpilih berkat dukungan koalisi kanan pimpinan Netanyahu.

Perkembangan politik itu tentu menguntungkan Netanyahu. Pertama, ia tetap berkuasa (jadi PM). Kedua, ia telah berhasil memecah belah Koalisi Blue White, yang tergabung di dalamnya para jenderal. Ketiga, ia selamat dari jerat hukum atas tuduhan tindak kriminal.

Dalam pemilihan Ketua Knesset pada Kamis (26/03) lalu, sejumlah 18 anggota dari 33 anggota parlemen dari Koalisi Blue White menolak bergabung dalam aliansi dengan Netanyahu dan menolak pemilihan Gantz sebagai Ketua Knesset. Begitu juga dengan 15 anggota parlemen dari Joint List Arab.

Sebaliknya, semua anggota Knesset dari sayap kanan yang berjumlah 58 orang, termasuk Netanyahu dan Yuli Edelstein, mendukung penuh Gantz menjadi ketua Knesset. Yuli Edelstein adalah Ketua Knesset yang digantikan Gantz.

Dengan terpecahnya Blue White, maka Gantz hanya didukung oleh 15 anggota dari koalisinya. Sedangkan 18 anggota lain dari koalisi memilih untuk beroposisi. Yang terakhir ini tetap membawa nama Koalisi Blue White. Jajaran oposisi di Knesset ini masih ditambah dengan 15 anggota parlemen dari Joint List Arab dan aliansi sayap kiri. Mereka menunjuk Moshe Yaalon, kolega lama Gantz di Koalisi Blue White, untuk memimpin oposisi di Knesset.

Perubahan sikap politik Benny Gantz itu tentu saja menuai berbagai kritik tajam, termasuk dari teman-temannya di Koalisi Blue White. Mereka menuduh Gantz sebagai politisi naif, gila jabatan. Mereka juga memperingatkan beraliansi dengan Netanyahu adalah bunuh diri.

Menurut Merav Michaeli, anggota parlemen dari Partai Buruh, Gantz telah bergabung dengan barisan para politisi penipu. Yaitu menjanjikan sesuatu kepada masyarakat namun kemudian mengingkarinya. Hal ini merujuk kepada kampanye Gantz yang ingin mendongkel Netanyahu. "Ini adalah hari hitam bagi politik Israel," ujarnya.

Kecaman juga datang dari sekutu terdekat Gantz di Koalisi Blue White, Yair Lapid. Ia menilai keputusan Gantz bergabung dengan Netanyahu sebagai pengkhianatan kepada para pemilih. “Apa yang sedang dibentuk hari ini bukanlah pemerintahan persatuan dan bukan pemerintahan darurat. Ini adalah pengkhianatan. Ini adalah pemerintahan Netanyahu yang lain.”

Namun, para pembela Gantz menganggap langkah politik bergabung dengan Netanyahu adalah sikap yang benar dan bertanggung jawab di tengah merebaknya Coronavirus. Menurut mereka, dengan bergabung dengan Netanyahu, Gantz telah mengorbankan diri dan posisi politik pribadinya. Bila Netanyahu di kemudian hari menipunya, menurut mereka, maka publik yang akan menghukumnya dalam pemilu mendatang.

Mereka justru menilai berkoalisi dengan Joint List Arab adalah langkah politik yang tidak tepat dan tidak bertanggung jawab, ketika Coronavirus sedang mewabah. Di sisi lain, menurut mereka, Netanyahu sedang menawarkan pemerintahan persatuan.

"Ini adalah sesuatu yang darurat di mana kita butuh persatuan untuk memerangi Corona," kata mereka.

Alasan bergabung dengan Netanyahu hanya lantaran Coronavirus tentu tidak bisa diterima aliansi politik partai-partai Arab-Palestina. Mereka pun mempertanyakan, bila ternyata harus bersekutu dengan Netanyahu, lalu untuk apa pemilu?

Mereka lantas mengutuk Benny Gantz, yang sebelumnya sekutu mereka di aliansi sayap tengah-kiri, karena membentuk pemerintahan persatuan bersama Netanyahu. Aliansi baru ini telah membuat Netanyahu tetap menjadi PM, sementara Gantz sebagai Ketua Parlemen (Knesset).

Ayman Awdeh, pemimpin Joint List di Knesset, menegaskan langkah politik Gantz sebagai tidak bermoral. Menurutnya, ia telah berbicara dengan Gantz dan memberi pilihan.

"Di depan Anda ada dua pilihan. Kita akan menang bersama dan membersihkan kehidupan politik yang penuh dengan korupsi dan rasisme ini atau Anda akan menyerah dan memilih bergabung dengan pemerintahan yang licik? Ternyata ia lebih memilih bergabung dengan Netanyahu."

Tokoh lain dari Joint List, Yousuf Jabareen, menyatakan pihaknya akan memimpin oposisi terhadap pemerintah Netanyahu yang terus menghasut dan rasisme. "Saya memperingatkan Gantz dan siapa pun yang berpikir untuk bergabung dengannya, jalan ini akan membawa bencana, bukan hanya bagi kami, tetapi juga untuk Anda. Untuk seluruh masyarakat Israel."

Perjuangan politik aliansi partai-partai Arab-Palestina dari dalam negara Israel ini tampaknya masih sangat panjang. Bukan hanya dalam menghadapi kekuatan-kekuatan kekuasaan di Israel yang rasis dan apartheid seperti halnya Netanyahu, namun juga dari dunia Arab sendiri. Bahkan juga masyarakat internasional. Dalam pembicaraan konflik Israel-Palestina, "mereka yang berjuang dari dalam" ini tidak pernah dilibatkan.

Mereka juga tidak pernah mendapatkan bantuan — baik dukungan politik, sosial, maupun ekonomi. Namun, mereka tetap bergerak. Mereka tetap berjuang melalui sistem politik Israel, yaitu lewat jalur politik dengan ikut pemilihan Knesset. Tujuannya, bisa mengubah kebijakan politik Israel yang rasis dan apartheid, yang memposisikan warga Yahudi sebagai warga negara kelas satu dan sebaliknya menempatkan orang-orang Arab-Palestina sebagai warga negara kelas dua. Hasilnya, dalam pemilu pada 2 Maret lalu, mereka mendapatkan 15 kursi parlemen, yang merupakan kekuatan terbesar ketiga di Knesset.neta

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement