REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apa itu ghibah, ya Rasul?”
Beliau menjelaskan, “Ghibah itu menceritakan tentang saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya.”
Sahabat itu bertanya lagi, “Bagaimana jika apa yang kuceritakan itu benar-benar terjadi pada saudaraku itu?”
Rasulullah SAW menjawab, “Jika apa yang engkau ceritakan itu benar-benar terjadi, berarti engkau telah melakukan ghibah terhadapnya. Namun, jika apa yang engkau ceritakan tidak terjadi, berarti engkau telah berbohong tentangnya."
Dari hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa ghibah berarti menceritakan apa yang terjadi pada orang lain yang jika terdengar oleh orang yang bersangkutan pasti tidak akan menyukainya. Tak peduli apakah hal-hal yang diceritakan itu benar adanya.
Anehnya, para pelaku ghibah seakan-akan menikmati perbuatan buruk itu. Hal ini mungkin tak mengherankan. Sebab, iblis senantiasa menggoda manusia melalui berbagai cara.
Imam al-Ghazali dalam Mukasyafatul Qulub menjelaskan, iblis melumuri bibir orang-orang yang senang berbuat ghibah dengan madu. Tujuannya agar orang-orang itu selalu merasa “manis” saat membicarakan dan menyebarkan aib orang.
Dikisahkan, dalam sebuah perjalanan, Nabi Isa AS pernah bertemu dengan Iblis yang sedang membawa madu di salah satu tangannya dan membawa abu di tangan lainnya.
Nabi Isa pun bertanya, “Apa yang akan engkau lakukan dengan madu dan pasir itu, wahai musuh Allah?”
Iblis menjawab, “Madu ini akan kuoleskan pada bibir para ahli ghibah agar mereka merasa manis dan semakin giat melakukan ghibah. Sementara, abu ini kubalurkan pada wajah anak-anak yatim sehingga orang merasa benci melihat kepada mereka.”
Wallahu ‘alam.