REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*)
Pembatasan sosial berskala besar tidak sama dengan karantina wilayah atau istilah yang lebih populer: lockdown. Hal tersebut secara eksplisit termaktub dalam UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Pasal 10 aturan tersebut menyebutkan bahwa karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Sementara itu, pasal 11 menyatakan bahwa pembatasan sosial berskala besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Perbedaan antara dua aturan tersebut adalah karantina wilayah secara tegas mengamanatkan pembatasan di pintu masuk, bahkan penutupan. Sementara itu, pembatasan sosial berskala besar tidak mengamanatkan adanya pembatasan di pintu masuk atau penutupan akses dari dan ke suatu wilayah. Pembatasan sosial hanya mengamanatkan pembatasan kegiatan penduduk.
Teknis dua upaya merespons kondisi darurat ini pun diatur dengan cara berbeda. Teknis karantina wilayah diatur dalam pasal 53 hingga pasal 55.
Teknis yang diatur oleh UU terkait karantina wilayah, misalnya, wilayah yang dikarantina diberi garis karantina. Tidak hanya itu, wilayah tersebut harus dijaga terus-menerus oleh pejabat karantina kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina (pasal 54 ayat 2).
Pengaturan karantina lainnya adalah anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar-masuk wilayah karantina (pasal 54 ayat 3). Selain itu, pemerintah bertanggung jawab atas kebutuhan hidup orang banyak, termasuk makanan hewan ternak, selama karantina wilayah (pasal 55 ayat 1 dan 2).
Sementara itu, teknis pembatasan sosial berskala besar diatur dalam pasal 59. Misalnya, pasal 59 ayat 3 mengamanatkan pembatasan yang meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Tiga langkah tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh sejumlah provinsi di Indonesia, khususnya Jakarta sebagai episentrum penyebaran virus corona Covid-19. Pemeritah Provinsi DKI Jakarta sudah meliburkan sekolah dan membatasi operasional transportasi umum untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19.
Namun, UU tersebut juga menekankan bahwa tiga langkah itu adalah upaya minimum atau "paling sedikit" dalam kondisi darurat kesehatan masyarakat. Sayangnya, UU Kekarantinaan Kesehatan tidak menjelaskan upaya paling maksimal dalam pembatasan sosial berskala besar sehingga bisa saja pembatasan sosial tersebut berwujud seperti lockdown atau karantina wilayah dengan pintu keluar/masuk ditutup.
Di sisi lain, pemerintah tidak memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas kebutuhan hidup orang banyak, termasuk makanan hewan ternak, selama masa pembatasan sosial. Terkait dengan penanganan Covid-19, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan ada perlindungan sosial dan stimulus ekonomi untuk UMKM, pelaku usaha, dan pekerja informal.
Seperti apa teknis atau lebih mendetail pembatasan sosial berskala besar, termasuk apakah pemerintah akan melibatkan TNI dan Polri, kita masih harus menunggu peraturan pemerintah. Pasalnya, pasal 60 UU Kekarantinaan Kesehatan sudah menegaskan bahwa pelaksanaan karantina dan pembatasan sosial berskala besar diatur dengan peraturan pemerintah.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id