REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah akan melibatkan pihak swasta melakukan tes reaksi berantai polimerase atau PCR (Polymerase Chain Reaction) di daerah untuk mendeteksi Covid-19. Keputusan menggandeng swasta karena pemerintah memiliki keterbatasan fasilitas.
"Bapak presiden telah memberikan arahan dibenarkan oleh swasta untuk menyelenggaraan tes PCR di bawah koordinasi Kementerian BUMN," kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona (Covid-19) sekaligus Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, Senin (30/3).
Menurut Doni, keputusan tersebut diambil karena adanya keterbatasan fasilitas. Terutama alat untuk mendeteksi siapa saja orang yang sudah terpapar Covid-19.
"Sehingga nanti Bapak Menteri BUMN akan mengatur lebih lanjut swasta mana saja yang diberikan kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tes PCR ini," tambah Doni.
Doni pun menegaskan akan ada standard operating procedure(SOP)dari Kementerian Kesehatan bagi swasta yang terlibat dalam tes PCR tersebut. "Bapak Menteri Kesehatan sudah melapor kepada Presiden, akan diatur sedemikian rupa bagaimana metodenya, memang masih dalam proses tapi mungkin hari ini bisa selesai. Nanti mungkin setiap puskesmas bisa memiliki SOP, memiliki tata cara yang benar, sehingga masyarakat yang didatangi tidak keberatan," jelas Doni.
Tes PCR dinilai lebih presisi dalam mendeteksi seseorang terpapar Covid-19 atau tidak. Metode PCR merupakan suatu teknik memperbanyak replikasi DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Cara yang dilakukan dengan mengecek keberadaan virus melalui swab test atau mengambil sampel lendir melalui hidung. Namun teknik ini membutuhkan waktu dan analisis hasil.
Berbeda dengan metode rapid test atau tes cepat yang menggunakan sampel darah untuk menguji keberadaan virus corona jenis baru tersebut. Rapid test memang lebih cepat dari PCR yaitu sekitar 15 menit hingga 3 jam.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan rapid test menggunakan spesimen darah dan bukan dari tenggorokan atau kerongkongan seperti tes PCR dan genome sequence yang selama ini dilakukan Kemenkes memiliki kelemahan. Rapid test disebut membutuhkan reaksi dari imunoglobin pasien yang terinfeksi virus corona, paling tidak seminggu sebab jika pasien belum terinfeksi atau terinfeksi selama kurang dari seminggu, kemungkinan bacaan imunoglobinnya akan negatif.
Artinya, rapid test tidak mendeteksi virusnya tapi antibodi yang dihasilkan tubuh manusia untuk melawan virus. Padahal antibodi tersebut baru terakumulasi setelah beberapa hari infeksi sehingga jika ada orang yang baru terinfeksi maka akan negatif saat dites.
Padahal salah satu BUMN, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), telah memesan sebanyak 500 ribu alat rapid test dari China pada 19 Maret 2020 lalu. Hingga Senin (30/3), jumlah positif Covid-19 di Indonesia mencapai 1.414 kasus dengan 75 orang dinyatakan sembuh dan 122 orang meninggal dunia.
Kasus positif Covid-19 ini sudah menyebar di 30 provinsi di Indonesia. Yaitu DKI Jakarta (698), Jawa Barat (180), Banten (128), Jawa Timur (91), Jawa Tengah (81), Sulawesi Selatan (50), Yogyakarta (18), Kalimantan Timur (17), Bali (19), Sumatera Utara (13), Papua (9), Kalimantan Tengah (7), Kepulauan Riau (3), Sumatera Barat (8), Lampung (8).
Selanjutnya Kalimantan Barat (8), Sulawesi Tenggara (3), Riau (2), Nusa Tenggara Barat (2), Sulawesi Utara (2), Aceh (5), Jambi (2), Sumatera Selatan (2), Kalimantan Selatan (5), Sulawesi Tengah (3), Maluku (1), Maluku Utara (1), Kalimantan Utara (2), Papua Barat (2), Sulawesi Barat (1), Bangka Belitung (1) dan yang masih dalam proses verifikasi di lapangan 37 kasus.