REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Hukum The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) Qurrata Ayuni menjelaskan status darurat sipil yang menjadi batas maksimal pemerintah dalam kebijakan pembatasan sosial berskala besar penanganan covid-19. Ia menerangkan penetapan Status Darurat Sipil merupakan salah satu kondisi yang digunakan dalam Undang-Undang 23/1959 Tentang Keadaan Bahaya.
Qurrata menjelaskan, UU tersebut mengenal tiga kategori darurat, yakni Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang. Pengaktifan darurat sipil akan memberikan kewenangan pemerintah untuk memberlakukan rezim hukum baru yang berbeda dengan hukum pada kondisi normal.
Ketika darurat sipil diaktifkan, lanjut Qurrata, presiden dapat membuat keputusan-keputusan yang dibutuhkan dengan segera meski harus mengenyampingkan hukum yang ada. Jadi, hanya Presiden yang dapat mengaktifkan status darurat.
"Bukan Menteri atau kepala BNPB. Sebab akan terjadi perubahan rezim hukum, di mana hukum normal tidak berlaku atau bisa dikesampingkan untuk menyelamatkan ancaman kehidupan bangsa termasuk Corona ini," ujarnya pakar hukum tata negara Universitas Indonesia dalam keterangan tertulis, Senin (30/3).
Qurrata menjelaskan penetapan status darurat salah satu jalan konstitusional yang juga diakui oleh hukum internasional. Ia memaparkan, pasal 4 paragraf 1 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyatakan bahwa sebuah negara diperkenankan mengenyampingkan hukum pada saat darurat jika ada ancaman terhadap kehidupan dan eksistensi bangsa.
Menurutnya, kondisi darurat Corona ini sudah dapat dijadikan alasan untuk mengaktifkan status darurat itu. Namun, ia menambahkan, pemerintah harus melaksanakan darurat sipil secara proporsional.
Presiden Joko Widodo, menurut Qurrata, juga harus berhati-hati untuk menggunakan UU tersebut karena dapat berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Meski bisa membatasi orang keluar rumah atau karantina wilayah sebagaimana yang dibutuhkan pada kondisi darurat Corona ini, pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan kemanusiaan.
"Karantina wilayah harus juga memperhatikan kebutuhan logistik rumah tangga sebagaimana amanat UU 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Wilayah, jika tidak maka berpotensi terjadi chaos. Jadi sebenarnya bisa dilakukan secara terbatas dan sesuai kebutuhan. Jangan sampai melahirkan rezim otoriter," kata dia.
Qurrata menambahkan, Indonesia tidak memiliki instrumen kedaruratan lain selain UU 23/1959 Tentang Keadaan Bahaya. "Jadi yang dikenal hanya Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang. Sehingga banyak pihak yang khawatir bahwa status darurat sipil akan membuat pemerintah menjadi otoriter, itu wajar," ujar dia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah akan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBS) sebagai respons kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Kebijakan ini sudah sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Kebijakan PSBS berbeda dengan karantina wilayah, yang mewajibkan bertanggung jawab atas kebutuhan hidup orang banyak, termasuk makanan hewan ternak, selama masa pembatasan sosial. PSBS tidak mengatur soal kewajiban pemerintah atas kebutuhan hidup semua orang.
PSBS mengamanatkan aksi minimal, yakni peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Namun, UU Kekarantinaan Kesehatan tidak mengamanatkan aksi maksimal PSBS yang bisa dilakukan pemerintah.