Selasa 31 Mar 2020 13:33 WIB

Meski Terdampak Covid-19, Aktivitas Manufaktur China Membaik

Meski indeks pembelian meningkat, ini tidak mencerminkan stabilisasi ekonomi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Pekerja menyelesaikan rakitan kendaraan di pabrik Dongfeng, Provinsi Hubei, China. Indeks pembelian manajer China tercatat meningkat pada Februari.
Foto: Chinatopix via AP
Pekerja menyelesaikan rakitan kendaraan di pabrik Dongfeng, Provinsi Hubei, China. Indeks pembelian manajer China tercatat meningkat pada Februari.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Secara tidak terduga, aktivitas pabrik di China meningkat pada Maret, setelah mengalami pemberhentian sementara karena adanya wabah virus corona (Covid-19). Tapi, para analis memperingatkan, pemulihan yang berkelanjutan masih belum terlihat. Pasalnya, Covid-19 sudah berpotensi menyebabkan krisis global seiring dengan penurunan permintaan dari luar negeri dan mengancam kemerosotan ekonomi yang curam.

Seperti disampaikan Biro Statistik Nasional (NBS), Selasa (31/3), Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Manager Index/PMI) resmi China naik menjadi 52 pada Maret. Pada bulan sebelumnya, PMI hanya 35,7, rekor terendah yang pernah dialami China. Angka di atas 50 menunjukkan, industri mengalami ekspansi, sedangkan di bawah 50 menggambarkan kontraksi.

Baca Juga

Besaran PMI pada bulan ini melebihi perkiraan analis yang dirilis Reuters, Selasa, yakni 45. Meski rebound, NBS memperingatkan, angka PMI tidak selalu menandakan stabilisasi dalam kegiatan ekonomi. Pandangan ini juga digaungkan oleh banyak analis yang memperingatkan, perjuangan China untuk mengembalikan bisnis dan ekonomi ke jalur normal sebelum pandemi masih terus berlanjut.

Ekonom senior China di Capital Economics mengatakan, PMI ini tidak berarti produksi sekarang sudah kembali ke tren pra-virus. Sebaliknya, ini hanya menunjukkan, kegiatan ekonomi meningkat yang relatif membaik dibandingkan kondisi suram pada Februari. "Tapi, tetap jauh di bawah tingkat sebelum adanya virus," tuturnya dalam sebuah pernyataan.

Produksi yang sempat berhenti kemarin menyebabkan proyeksi terhadap pertumbuhan ekonomi China ikut menurun. Para ekonom telah memprediksi adanya kontraksi tajam pada Produk Domestik Bruto (PDB) China pada kuartal pertama. Mereka memproyeksikan, ekonomi China bisa kontraksi hingga sembilan persen, atau lebih, yang menjadi kontraksi terdalam sepanjang tiga dekade.

Ekonom Hwabao Trust, Nie Wen, mengatakan, permasalahan yang dihadapi produsen China sekarang adalah kurangnya permintaan dari negara pasar. Sebelumnya, industri China menghadapi masalah penghentian produksi yang dipaksakan oleh otoritas China.

"Masalah terbesar yang dihadapi ekonomi China pada kuartal kedua adalah permintaan luar negeri yang merosot," kata Nie.

Untuk mengantisipasi dampak tersebut, Nie menambahkan, pemerintah dan pihak moneter China dapat membuat lebih banyak kebijakan di atas miliaran dolar AS yang fokus pada peningkatan konsumsi domestik. Kebijakan ini diharapkan mampu mengganti penyusutan permintaan luar negeri.

Survei PMI menimbulkan reaksi positif dari pasar. Saham Asia naik karena investor tampaknya lega dengan kabar baik yang jarang terjadi setelah pandemi Covid-19. Kabar ini diharapkan bisa menjadi gambaran awal adanya tanda-tanda mereda dari tekanan ekonomi akibat pandemi.

Tapi, Yuan tampak tidak bergerak. Ini mencerminkan pandangan analis yang menyebutkan, rebound berkelanjutan aktivitas manufaktur masih jauh dari realisasi, meski ada penurunan infeksi virus corona di China dibandingkan Februari.

Diketahui, Beijing telah memberlakukan aturan karantina secara ketat dan pembatasan perjalanan untuk menekan penyebaran pandemi yang sudah menewaskan lebih dari 3.000 orang di China. Seiring dengan pengurangan infeksi yang ditularkan secara lokal, sebagian besar bisnis telah dibuka kembali dan kehidupan jutaan orang perlahan kembali normal.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement