Friday, 6 Jumadil Awwal 1446 / 08 November 2024

Friday, 6 Jumadil Awwal 1446 / 08 November 2024

Atasi Covid-19 dengan Karantina Wilayah, Bukan Darurat Sipil

Selasa 31 Mar 2020 15:04 WIB

Red: Hiru Muhammad

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid menilai rencana Presiden Joko Widodo yang ingin menerapkan darurat sipil untuk mengatasi wabah virus Covid 19 sebagai kebijakan yang tidak proporsional dan harusnya dibatalkan.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid menilai rencana Presiden Joko Widodo yang ingin menerapkan darurat sipil untuk mengatasi wabah virus Covid 19 sebagai kebijakan yang tidak proporsional dan harusnya dibatalkan.

Foto: istimewa
Kebijakan pemerintah harus sesuai dengan ekskalasi dan spektrum ancaman yang ada

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid menilai rencana Presiden Joko Widodo yang ingin menerapkan darurat sipil untuk mengatasi wabah virus Covid 19 sebagai kebijakan yang tidak proporsional dan harusnya dibatalkan. 

Hidayat mengatakan salah satu asas yang perlu diperhatikan dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM), adalah asas proporsionalitas, dimana kebijakan pemerintah harus sesuai dengan ekskalasi dan spektrum ancaman yang ada. Apabila tidak proprosional, maka efek rusaknya bisa lebih parah dan berimbas ke yang lain. “Ini ibarat membunuh nyamuk dengan Bazooka, bukan dengan semprotan nyamuk,” katanya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (31/3). 

Lebih lanjut, Hidayat yang akrab disapa HNW ini menilai analogi ini relevan, karena mungkin saja Jokowi mengancam Rakyat karena dinilai tidak laksanakan ketentuan terkait dengan physical atau social distancing sehingga korban korona terus berjatuhan. Dengan ancaman rencana penerapan Darurat Sipil bisa meredam atau menakut-nakuti orang untuk berdiam diri di rumah, tetapi ada bahaya yang lebih besar, yakni ancaman terhadap kehidupan berdemokrasi. 

Beberapa ketentuan  dalam Perpu No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang menjadi dasar pemberlakuan Darurat Sipil pd masanya sudah terbukti  mengancam demokrasi, dan potensi itu yg harus dihindari. Apalagi ketentuan soal Darurat Sipil itu tidak relevan untuk penanganan Covid 19, yang oleh Pemerintah bahkan belum dinyatakan sebagai pemberontakan sipil/militer, atau ancaman nasional yg bisa menjatuhkan pemerintah atau membubarkan NKRI. kondisi-kondisinya yang menjadi rujukan dahulu dibuatnya Perpu tersebut.

Apalagi diantara ketentuan-ketentuan Perpu tersebut juga tidak relevan dengan era demokrasi dan pandemi Corona. Misalnya  Pasal 17 yang memberi kewenangan kepada penguasa darurat sipil untuk mengetahui percakapan-percakapan kantor telepon atau kantor radio, hingga membatasi pemakaian bahasa lain selain bahasa Indonesia. “Itu jelas tidak ada hubungannya dengan wabah virus Covid 19,” ujarnya. 

HNW menambahkan penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang kemudian ditetapkan menjadi UU melalui UU No. 1 Tahun 1961 juga sangat kental nuansa mengarahkan keadaan bahaya berkaitan dengan bahaya fisik. Seperti bahaya militer atau kerusuhan, bukan berkaitan dengan wabah penyakit. “Bila kita lihat penjelasannya, teori yang digunakan saja adalah teori ilmu perang. Ini jelas tidak relevan,” tukasnya.

HNW  mengingatkan agar Presiden Joko Widodo untuk tidak mengambil darurat sipil sebagai opsi terakhir untuk penanganan wabah virus Covid 19. Presiden Joko Widodo sebaiknya lebih fokus dan lebih serius kepada penggunaan UU yang sesuai dengan era Reformasi yaitu UU Penanggulangan Bencana (UU no 24/2007) dan UU yangg beliau tandatangani sendiri, yaitu UU Kekarantina Kesehatan (UU No 6/2018). 

“Kami FPKS di DPR RI juga sudah siap mendukung Presiden Jokowi untuk mendukung pelaksanaan kedua UU tersebut, bahkan bila konsekwensinya adalah terkait dengan APBN yang harus disediakan oleh Negara, maka FPKS siap mendukung untuk mengalokasikan anggaran dengan merevisi UU APBN, apabila opsi Karantina Wilayah yang diambil karena memang ada keharusan pemerintah pusat untuk menjamin kebutuhan dasar WNI di wilayah karantina,” jelasnya. 

Ia menilai adanya keseriusan melaksanakan UU Penanggulangan Bencana dan UU Karantina Kesehatan, dengan koordinsasi yang maksimal antara Aparatur Pemerintahan di Pusat dan Daerah, disertai sosialisasi yang maksimal kepada rakyat, dan dukungan penuh kepada tenaga kesehatan, ditambah lagi dengan realokasi anggaran yang terukur (dari pos-pos kementrian dan pembangunan infrastruktur yang tak urgent), Insya Allah tidak sudah cukup untuk mengatasi “teror” virus Covid-19. Dan dg komitmen dan persiapan yg menyeluruh spt itu, insyaAllah chaos yg terjadi akibat lockdown di India, tidak terjadi di Indonesia.

“Jadi tidak perlu mewacanakan Darurat Sipil yang belum tentu bisa atasi covid 19, tapi malah bisa jadi ‘teror’ terhadap kehidupan demokrasi,”kata Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan kebencanaan ini.

Sebagai informasi, dalam Rapat Terbatas pada Senin (30/3), Presiden Joko Widodo menuturkan bahwa kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diambil pemerintah saat ini perlu diiringi dengan darurat sipil. Namun, kemudian, Juru Bicara Presiden Fajrul Rahman meluruskan bahwa kebijakan darurat sipil merupakan alternatif terakhir apabila Pembatasan Sosial Berskala Besar Sosial tidak berjalan dengan baik.

HNW mendorong Presiden Joko Widodo untuk menjadikan solusi terakhir Karantina Wilayah. Sesuai UU yang ditandatanganinya sendiri, yakni UU No.6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. “Darurat sipil bukan opsi atau alternatif untuk permasalahan ini. Alternatif terakhir apabila Pembatasan Sosial Berskala Besar tidak berjalan dengan baik adalah Karantina Wilayah,” katanya.

 

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler