REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah berikut ini diriwaytkan dari Ibnu Abi Hatim dan Imam al-Baihaqi, sebagaimana termaktub dalam kitab ad-Dalaa'il.
Dari Katsir bin Abdullah bin Amru al-Muzni dari ayahnya dari kakeknya, diceritakan sebagai berikut. Sebelum pecah Perang Ahzab, Rasulullah SAW memutuskan untuk membuat parit yang mengelilingi Kota Madinah. Langkah ini beliau ambil setelah mengadakan musyawarah dengan para sahabat. Salah seorang dari mereka, Salman al-Farisi, mengajukan usul pembangunan parit. Sebab, di negeri asalnya--Persia--suatu kubu yang diserang akan membangun parit mengelilingi benteng pertahanan sebelum digempur musuh.
Usulan Salman diterima sehingga Nabi SAW memimpin pembangunan parit itu. Beliau tak hanya menginstruksikan, tetapi juga turut dalam proses pengerjaan parit tersebut.
Suatu hari, beberapa sahabat melaporkan kepada beliau ihwal batu besar yang bulat dan berwarna putih di lokasi pembuatan parit itu. Batu tersebut amat sukar dipecah oleh mereka.
Rasulullah SAW pun mendatangi lokasi batu itu berada. Beliau kemudian mengambil pacul dan memukul batu itu dengan keras sehingga merekahlah benda itu. Tiba-tiba, dari batu tersebut mencuat cahaya yang memerangi kedua ujung Kota Madinah.
Melihat itu, Rasulullah kembali bertakbir. Kaum Muslimin pun ikut bertakbir. Rasulullah SAW lalu memukul batu itu kembali sehingga benda itu merekah lebih besar dan kembali mencuatkan cahaya terang yang menerangi kedua ujung Madinah.
Melihat itu, Rasulullah kembali bertakbir dan kaum muslimin pun ikut bertakbir. Nabi SAW kemudian memukul batu itu untuk ketiga kalinya. Maka, pecahlah benda itu berkeping-keping.
Akan tetapi, lagi-lagi mencuat cahaya terang dari batu itu yang menerangi kedua ujung kota Madinah sehingga Rasul SAW kembali bertakbir untuk ketiga kalinya--begitu pula kaum Muslimin.
Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang kejadian tersebut, beliau berkata, "Pada pukulan pertama, cahaya terang dari batu itu membuat saya dapat melihat istana-istana Hirah dan Madain yang dimiliki Kisra Persia. Jibril lalu datang dan memberitahukan, umat saya nanti akan mengalahkan mereka (kaum Persia).
Selanjutnya, pada pukulan kedua, cahaya terang dari batu itu membuat saya dapat melihat istana-istana merah yang terdapat di daerah Romawi. Jibril lalu memberitahukan bahwa umat saya nantinya akan mengalahkan mereka (kaum Romawi).
Ketika saya memukul untuk ketiga kalinya, cahaya terang dari batu itu membuat saya dapat melihat istana-istana di kota San'aa (Yaman) dan Jibril kembali memberitahukan bahwa umat saya nantinya akan mengalahkan mereka (kerajaan Yaman).'
Tepat saat itu, orang-orang munafik ikut mendengar penuturan Nabi SAW. Hanya saja, mereka justru berkata dengan nada mengejek.
"Tidakkah kalian merasa heran dengan ucapan, angan-angan, dan janji-janji palsu yang disampaikan Muhammad kepada kalian!? Bagaimana mungkin Muhammad menyatakan telah melihat dari Kota Yatsrib (Madinah --orang munafik tak mau menyebut Kota Nabi sebagai Madinah --Red) istana-istana Hirah dan Madain milik raja Kisra Persia? Juga bagaimana mungkin dia menyatakan, kalian akan menaklukannya, sementara kalian saat ini hanya bisa menggali parit untuk melindungi diri dari musuh yang kalian tidak mampu menghadapinya?!"
Begitulah ucapan menghina orang munafik.
Seketika, wahyu turun kepada Nabi SAW. "Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang hatinya berpenyakit berkata: 'Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya belaka'" (QS al-Ahzab: 12).
Padahal, nubuat Nabi SAW itu benar terbukti adanya. Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, wilayah kedaulatan Islam sudah mencakup Persia (kini Iran). Bahkan, bangsa Persia termasuk yang turut memajukan peradaban Islam di sepanjang sejarah.