REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain kepakarannya dalam bidang ilmu fikih, Imam Syafi'i juga dikenal memiliki perhatian besar dalam ilmu hadis. Bahkan, ia sangat mengecam orang-orang yang suka menyebut sebagai penganut sunnah, tetapi perilakunya bertentangan dengan ajaran Sunnah.
Imam Syafi'i juga tak segan-segan untuk menegur pihak-pihak yang menyampaikan seolah-olah hadis Nabi Muhammad SAW, padahal bukan hadis Nabi. Dalam pandangan Imam Syafi'i, hadis mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, yakni sumber hukum Islam kedua setelah Alquran.
Ia sangat mengutamakan sunnah Nabi SAW dalam melandasi pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Syafi'i berkata : ''Jika kalian telah mendapatkan sunnah Nabi, maka ikutilah dan jangan berpaling untuk mengambil pendapat yang lain.''
Karena sikapnya itulah, Imam Syafi'i dijuluki sebagai seorang ulama pembela hadis (Nashir hadits wa sunnah). Seorang alim, Abdul Hamid al-Jundi, menulis sebuah buku dengan judul Imam Syafi'i, Pembela Sunnah dan Peletak dasar Ilmu Usul Fikih. Di dalamnya, diuraikan secara perinci tentang sikap dan pembelaan Syafi'i terhadap Sunnah.
Karena sangat mengutamakan Sunnah, Syafi'i sangat berhati-hati dalam menggunakan qiyas (analogi). Menurutnya, qiyas hanya dapat digunakan dalam keadaan terpaksa (darurat), yaitu dalam masalah muamalah (kemasyarakatan) yang tidak didapati teksnya (nash) secara qath'i (pasti) dalam Alquran atau hadis sahih, atau tidak dijumpai pada ijma sahabat.
Dalam mengambil dan menetapkan sebuah hukum, Syafi'i memakai lima landasan, yakni Alquran, Sunnah, Ijma, Qiyas dan istidlal (penalaran). Kelima landasan ini kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Syafi'i. Dan mazhab syafi'i ini kemudian menjadi acuan di kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.