Oleh: Irma Setyawati, S.Pd (Aktivis Muslimah Pasuruan)
Sejak Senin, 16 Maret 2020 hampir seluruh sekolah se-Indonesia diliburkan. Pembelajarannya diganti dengan mengerjakan tugas di rumah atas pengawasan orangtua. Mekanismenya, guru memberi tugas untuk beberapa hari dan tugas langsung dikumpulkan ke guru tiap harinya via online. Langkah ini menindaklanjuti keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Anwar Makarim dalam rangka mengantisipasi penyebaran Covid-19 di lingkungan lembaga pendidikan.
Sekilas keputusan untuk belajar di rumah tersebut terkesan menyenangkan. Namun faktanya ketika proses berjalan, banyak keluhan di mana-mana. Terutama dari orangtua murid di tingkat PAUD dan SD. Keluhannya beragam, mulai dari masalah teknis semisal tidak bisa mendisiplinkan anak untuk segera mengerjakan tugasnya, hingga keluhan pada tataran ketidakmampuan secara ilmu untuk membantu anak-anaknya mengerjakan tugas.
Problem berbeda muncul pada pembelajaran di rumah bagi siswa SMP dan SMA yang menggunakan pembelajaran daring (pembelajaran dalam jejaring). Disini justru kita melihat ada ketidaksiapan guru dalam proses pembelajarannya. Misalnya ketika sudah disepakati pembelajaran menggunakan google classroom. Murid siap semua, giliran gurunya tidak siap dengan operasional aplikasinya.
Seperti yang diungkap pemerhati pendidikan Indra Charismiadji, “Belum semua guru siap dengan pembelajaran daring. Banyak guru yang kebingungan bagaimana pembelajaran daring tersebut."
Belum lagi ketidaksiapan juga dialami daerah-daerah yang minim fasilitas, baik piranti maupun jejaringnya. Sejumlah sekolah yang terbiasa menggunakan perangkat teknologi tentu tidak menjadi masalah, namun sangat bermasalah sekali bagi daerah yang minim fasilitas. Kini proses pembelajaran di rumah telah berlangsung. Meskipun kesiapan guru, siswa dan sekolah bervariasi. Ada yang siap, terpaksa siap dan betul-betul tidak siap.
Memang tidak bisa dipungkiri perubahan cara belajar jarak jauh ini berlangsung begitu cepat akibat merebaknya Covid-19. Dari peristiwa ini kita bisa menakar bahwa banyak sekali yang patut dievaluasi dari sistem pendidikan dan tenaga pendidik yang ada di negeri ini. Selain itu, kita juga bisa menakar sejauh mana peran orangtua selama ini dalam keberhasilan proses pendidikan anak.
Dengan peristiwa ini kita bisa melihat dengan jelas bahwa orangtua selama ini hanya menyerahkan begitu saja pendidikan anak ke sekolah dan ke lembaga bimbingan belajar. Sehingga ketika diminta mendampingi proses belajar anak di rumah, mereka gagap dengan itu semua.
Peran Ibu
Tentu kita juga tidak bisa serta merta menyalahkan ketidakoptimalan peran ibu dalam proses pendidikan anak selama ini. Karena himpitan ekonomi akibat penerapan sistem kapitalisme yang eksploitatif telah memproduksi kemiskinan dan badai PHK di mana mana. Sehingga menyebabkan beban ekonomi keluarga semakin berat dan memaksa kaum ibu untuk ikut bekerja menanggung ekonomi keluarga.
Apalagi ditambah program pemberdayaan ekonomi perempuan yang dilegalisasi oleh penguasa turut menjerat secara sistematis kaum ibu dalam jebakan dunia kerja atas nama kesetaraan gender. Sungguh karena desakan ekonomilah akhirnya kaum ibu selama ini lebih lama berada di luar rumah untuk bekerja dan sedikit sekali waktu bersama anak dan keluarga di rumah.
Dan sejak di berlakukannya kebijakan social distencing oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran covid-19, maka mulai dari aktivitas belajar, bekerja dan beribadah di haruskan untuk di lakukan di rumah. Masyarakat diminta untuk mengkarantina diri di rumah. Terlepas dari sisi positif dan negatif akibat dari pemberlakuan kebijakan tersebut, misalnya dari sisi ekonomi dll, hikmah besar di balik itu semua adalah karena qadarullah kaum ibu akhirnya kembali ke pangkuan keluarga terutama anak-anak mereka.
Sayangnya karena terlalu lamanya Ibu meninggalkan peran dan tanggung jawabnya di rumah, sehingga ketika menjalani karantina di rumah di masa pandemic Covid-19 ini banyak yang gagap bahkan stress menghadapi tingkah pola anak di rumah dan menjalankan tugas-tugasnya di rumah.
Peran Ibu Bagi Generasi
Agar kaum ibu selama masa karantina rumah akibat pandemi corona ini tidak stress dan gagap menjalankan tugas dan tanggungjawabnya di rumah, maka para ibu harus dipahamkan kembali betapa besarnya peran dan tanggungjawabnya bagi pembentukan generasi. Agar kembalinya ibu di rumah tidak diisi dengan aktivitas mengalir begitu saja tanpa berkontribusi positif bagi pembentukan generasi bangsa yang berkualitas
Kemuliaan Seorang Ibu
Tidak ada kemulian terbesar yang diberikan Allah bagi seorang wanita, melainkan perannya menjadi seorang Ibu. Bahkan Rasulullah pun bersabda ketika ditanya oleh seseorang: “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Di dalam rumah, siapakah yang mempunyai banyak waktu untuk anak-anak? Siapakah yang lebih mempunyai pengaruh terhadap anak-anak? Siapakah yang lebih dekat kepada anak-anak? Tidak lain adalah ibu-ibu mereka.
Baik buruknya seorang anak, dapat dipengaruhi oleh baik atau tidaknya seorang ibu yang menjadi panutan anak-anaknya. Pernahkah kita membaca kisah-kisah kepahlawanan atau kemulian seseorang? Siapakah dalang di dalam keberhasilan mereka menjadi seorang yang pemberani, ahli ilmu atau bahkan seorang imam? Tidak lain adalah seorang ibu yang membimbingnya.
Inilah kekuatan seorang ibu yang diberikan kepada anak-anaknya. Tatkala sang anak merasa ragu akan hal yang ingin diperbuatnya, namun mereka teringat akan nasehat ibu mereka, maka semua keraguan itu menjadi hilang, yang ada hanya semangat dan keyakinan akan harapan seorang ibu.
Demikianlah peran mulia seorang ibu, dan tidak ada peran yang lebih mendatangkan pahala yang banyak melainkan peran mendidik anak-anaknya menjadi anak yang baik, saleh dan salehah yang setiap aktivitasnya di landasi atas iman dan semata-mata mencari ridho Allah SWT. Karena anak-anaknya lah yang menjadi sumber pahala dirinya dan sumber kebaikan untuknya.
Ketahuilah, banyak di kalangan orang-orang besar, bahkan sebagian para imam dan ahli ilmu merupakan orang-orang yatim, yang hanya dibesarkan oleh seorang ibu. Dan lihatlah hasil yang di dapatkannya. Mereka berkembang menjadi seorang ahli ilmu dan para imam kaum muslimin. Sebut saja, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Al-Bukhori dll adalah para ulama yang dibesarkan hanya dari seorang ibu. Karena kasih sayang, pendidikan yang baik dan doa dari seorang ibu merupakan kekuatan yang dapat menyemangati anak-anak mereka dalam kebaikan.
Karenanya, jika para ibu sadar akan pentingnya dan sibuknya kehidupan di keluarga, niscaya mereka tidak akan mempunyai waktu untuk mengurusi hal-hal di luar keluarganya. Apalagi berangan-angan untuk menggantikan posisi laki-laki dalam mencari nafkah. Jika kita melihat akan keutamaan-keutamaan yang diberikan Allah untuk seorang ibu, maka jelaslah bahwa ibu merupakan tumpuan besar bagi pembentukan generasi bangsa yang berkualitas.
Persamaan gender yang didengungkan oleh kaum barat, tidak lain adalah untuk menghancurkan pondasi keislaman seorang muslimah, sehingga ia meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ibu untuk membentuk generasi bangsa yang berkualitas, sehingga yang ada adalah seperti saat ini, yaitu generasi yang malah membebek pada peradabaan barat yang rusak dan merusak.