Rabu 01 Apr 2020 10:25 WIB

Wabah Covid-19, Ritual Pemakaman Bagi Umat Islam Berubah

Ajaran Islam fleksibel pada saat dibutuhkan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Wabah Covid-19, Ritual Pemakaman Bagi Umat Islam Berubah. Foto ilustrasi.
Foto: AMG
Wabah Covid-19, Ritual Pemakaman Bagi Umat Islam Berubah. Foto ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Bagi umat Islam, kremasi tidak hanya dilarang, tapi juga dipandang sebagai penodaan bagi orang yang telah meninggal. Dipercaya masih ada hubungan antara tubuh dan jiwa, bahkan setelah kematian menjemput.

Seorang profesional dalam hal kematian di komunitas Muslim, Mariam Ardari menyebut hubungan ini adalah sesuatu yang sangat metafisika. Hal ini juga menjadi kepercayaan yang sangat kuat bagi umat Muslim.

Baca Juga

"Memberikan perlakuan seperti itu (kremasi) kepada tubuh yang telah meninggal, itu cukup mengerikan untuk dipertimbangkan," ujarnya dikutip di ABC, Rabu (1/4).

Tetapi, ketika wabah Covid-19 menyebar secara global, dan angka kematian meningkat, komunitas Muslim dan Yahudi sama-sama dipaksa mempertimbangkan kembali prosesi kematian kuno dan upacara pemakaman. Menurut Ardati, hal ini menyebabkan kepanikan.

Perilaku yang diberikan kepada jasad yang telah meninggal merupakan hak dari orang tersebut. Sama seperti hak yang diberikan kepada mereka ketika mereka masih hidup.

Ketika seorang Muslim meninggal, tubuh mereka dihormati dengan empat ritual. Pertama, jasad tersebut dicuci menggunakan air sabun, air bersih, kemudian air yang diinfus kamper. Selanjutnya jenazah dibungkus dengan kain kafan, dan diberi pewangi.

"Lalu ada doa bersama yang dipersembahkan untuk almarhum, dan saat itulah seluruh komunitas berkumpul," ujar Ardati.

Ritual keempat adalah ketika almarhum dimakamkan, bukan diletakkan di peti mati, tetapi diletakkan langsung ke bumi atau tanah. Tetapi karena pandemi saat ini, ritus-ritus Islam ini sedang diadaptasi, bahkan dihilangkan untuk mencegah penyebaran infeksi.

Pekan lalu, Dewan Imam Nasional Australia (ANIC), tempat Ardati menjadi penasihat pemakaman dan kuburan, mengeluarkan pernyataan yang mengatakan jenazah umat Muslim diizinkan dikuburkan di dalam kantong plastik antibocor. Langkah ini lalu disetujui oleh badan Islam yang dikenal sebagai Dewan Fatwa.

Sementara pembatasan masih berlangsung, dan mungkin berbeda dari satu negara ke negara lain, Ardati mengatakan beberapa layanan Islam merilis pernyataan yang mengatakan tidak akan ada jenazah yang dimandikan.

Dia menambahkan, layanan lainnya bisa tetap melakukan ritual dimandikan dan dikafani asalkan staf memiliki akses ke peralatan perlindungan pribadi atau APD. Tetapi mengingat staf kesehatan yang berada di garis terdepan kehabisan peralatan yang diperlukan, ia mengatakan tidak mungkin penyedia layanan pemakaman dapat memenuhi permintaan tersebut.

Di dunia internasional, ribuan korban meninggal akibat virus Covid-19 dikremasi. Pekan lalu, pemerintah Inggris mengeluarkan RUU darurat yang ditakuti oleh kelompok agama akan memungkinkan otoritas negara mengamanatkan kremasi.

Meski undang-undang tersebut diamandemen untuk menghormati kebebasan beragama, ketakutan akan kremasi paksa tetap menjadi perhatian nyata bagi kelompok-kelompok agama. Di Argentina, dilaporkan pemerintah setempat telah mengkremasi korban pertama virus corona dari Yahudi, meskipun ada protes dari komunitas mereka.

photo
Infografis protokol menyalatkan jenazah terinfeksi Covid-19. - (Republika.co.id)

Rabi Jeffrey Kamins dari Emanuel Synagogue di Sydney mengatakan ada banyak kesamaan antara ritual Islam dan Yahudi. Ia menyebut kremasi dilarang dalam kedua agama.

"Bagi kami, tubuhnya suci, dan penguburan adalah aspek inti dari cara kami melakukannya. Saya senang Inggris membuat pengecualian itu, dan saya yakin itu juga akan menjadi kebijakan di Australia, dengan tanpa membahayakan kesehatan," ujarnya.

Pelayan Yahudi Michel Laloum mengatakan kremasi tidak sepenuhnya dikesampingkan dalam gerakan progresif Yudaisme. Dia menambahkan beberapa orang Yahudi menentang kremasi karena alasan historis.

"Argumennya adalah, 'orang-orang telah mengkremasi kita, mengapa kita mengkremasi orang lain?', Sementara yang lain merasa itu adalah hak mereka untuk dikremasi," ujarnya.

Ardati lalu menyebut cara jasad diperlakukan selama ritual kematian adalah bentuk rasa hormat yang tertinggi. "Kita bahkan tidak bisa memotong kuku, kita tidak bisa memotong rambut dari tubuh, kita harus meninggalkannya persis seperti yang kita terima," lanjutnya.

Seorang akademisi dan penerjemah The Majestic Quran yang berpusat di Inggris, Musharraf Hussain menyebut, hukum Islam fleksibel pada saat dibutuhkan. Bahkan jika diperlukan, hanya dua orang yang dapat melakukan shalat jenazah dan mayat tidak selalu dimandikan.

"Mereka yang meninggal karena wabah, dianggap meninggal syahid menurut beberapa hadis. Mereka dinilai meninggal karena membela sesama umat Muslim. Jenazah mereka tidak dicuci," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement