REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama 30 hari puasa Ramadhan tahun lalu lalu, ada beberapa alasan yang menyebabkan puasa seorang muslimah tidak penuh. Beberapa penyebabnya karena haid maupun udzur seperti sakit, bepergian, hamil, maupun menyusui.
Adapun banyaknya hari seseorang tidak berpuasa selama bulan Ramadhan wajib dilunasi sebelum Ramadhan berikutnya tiba. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah ayat 184, "Maka barangsiapa di antara sakit atau bepergian jauh, hendaklah ia mengganti shaum pada hari-hari yang lain."
Pelunasan hutang atau qadha ini dilakukan pada hari-hari biasa, kecuali hari-hari yang diharamkan oleh Allah SWT. Adapun hari-hari yang diharamkan adalah saat Idul Adha, hari Tasyriq (11-13 Dzulhijjah), dan hari raya Idul Fitri. Qadha Ramadhan ini boleh ditunda, atau tidak harus dilakukan langsung pada bulan Syawal, asal tidak sampai masuk pada Ramadhan berikutnya.
Dalam HR Bukhari, Abu Salamah menyebut pernah mendengar Aisyah ra berkata, "Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali di bulan Sya’ban." Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi SAW.
Selain itu dalam buku karya Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, disebutkan Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani pernah berkata, "Dari kesungguhan Aisyah ra untuk melunasi hutang puasa Ramadhan pada bulan Syaban ini bisa disimpulkan bahwasanya tidak boleh menunda qadha puasa Ramadhan sampai datangnya Ramadhan tahun berikutnya."
Meski demikian, tetap dianjurkan untuk mengqodho puasa Ramadhan segera tanpa ditunda-tunda. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan. Hal ini disebutkan dalam QS Al-Mu'minun ayat 61, "Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya."
Adapun bagi umat yang menunda qadha karena suatu keadaan dan kondisi, namun ternyata ia belum mampu membayar utang puasanya hingga Ramadhan berikutnya, maka ia memiliki kewajiban tambahan yakni membayar fidyah.
Syaikh Musthafa Al-Bugha dalam Al-Fiqh Al-Manhaji menyebutkan, "Siapa yang luput puasa karena safar atau sakit, wajib baginya qadha sebelum masuk Ramadhan berikut. Jika ia tidak mengqadha karena malas-malasan (tidak ada uzur) hingga masuk Ramadhan berikut, ia berdosa. Selain qadha puasa yang belum ditunaikan, ia juga harus menunaikan fidyah dengan memberi makan pada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa sebanyak satu mud. Makanannya berupa makanan yang biasa dimakan di negerinya, lalu disedekahkan kepada fakir miskin."
Dalam Majmu' Fatawa Ibn Baz No 15, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mantan ketua Lajnah Ad Da'imah atau Komisi Fatwa Saudi Arabia menyebut bagi seseorang yang meninggalkan qadha hingga Ramadhan padahal tidak memiliki udzur, maka ia tetap mengqadha puasa sebanyak yang ia tinggalkan dan memberi makan pada orang miskin dengan jumlah hari sebanyak puasa yang ditinggalkan.
"Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan disertai dengan qadha puasanya. Ukuran makanan untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh (tebusan) selain itu. Hal inilah yang difatwakan oleh beberapa sahabat seperti Ibnu Abbas. Namun apabila dia menunda qadhanya karena ada udzur seperti sakit atau bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqadha puasanya," ujarnya.
Urutan dalam mengqadha puasa pun tidak harus pada pekan yang sama atau berturut-turut. Umat muslim boleh membagi-baginya selama tidak masuk ke bulan Ramadhan berikutnya. Abdur Razzaq dalam Mushonnaf-nya menuliskan, "'Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.' (QS. Al Baqarah: 185). Ibnu Abbas mengatakan, 'Tidak mengapa jika (dalam mengqadha puasa) tidak berurutan'."