REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penundaan Pilkada 2020 akibat pandemi virus corona disepakati akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Viryan Azis, pengaturan rekapitulasi elektronik atau e-recap juga perlu diatur dalam Perppu Pilkada.
"Paling tidak ada tiga hal "darurat" lainnya yang telah masak di publik, yaitu anggaran pilkada, pengelolaan dana kampanye dan penerapan rekapitulasi elektronik," ujar Viryan dalam keterangan tertulisnya, Rabu (1/4).
Viryan mengungkapkan, tiga hal tersebut telah cukup matang dibahas oleh publik. Menurutnya, momentum penerbitan Perppu Pilkada ini berpeluang menjadi terobosan untuk mengurangi politik biaya tinggi dalam pelaksanaan pilkada.
Viryan menjelaskan, penerapan rekapitulasi elektronik sebagai respons terhadap kritik publik atas Pemilu 2019 karena lamanya proses penghitungan hasil pemilu. Model penghitungan yang diterapkan sejak pemilu 1955 perlu diubah.
KPU sejak akhir tahun lalu tengah menyiapkan rekapitulasi elektronik. Viryan menuturkan, pembahasan terakhir oleh sejumlah pihak, perlu ada pengaturan rekapitulasi elektronik di undang-undang.
Selain itu, terkait anggaran pilkada yang terdiri dari sumber dana dan pos anggaran. Sumber dana pilkada dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi kebutuhan mendesak.
Menurut Viryan, penganggaran Pilkada 2020 dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menunjukkan inefektivitas proses penyusunan dana pilkada. Bahkan, hingga mengancam kualitas penyelenggaraan tidak demokratis.
Selain sumber dana, kata Viryan, pos anggaran pilkada tertentu perlu dipertimbangkan kembali untuk efektivitas dan efisiensi. Salah satunya pos anggaran bahan kampanye oleh jajaran KPU didaerah semakin tidak relevan seiring semakin efektifnya kampanye digital dan murah. Kemudian, lanjut dia, pengelolaan dana kampanye. Politik biaya tinggi dalam pilkada terus mendapat sorotan, khususnya isu mahar politik dan politik uang atau money politic.
Menurut Viryan, salah satu upaya menyelesaikan persoalan itu dengan perluasan dan pendalaman pengaturan dana kampanye. Perluasan tersebut tidak hanya ketika seseorang telah ditetapkan KPU menjadi calon, tetapi sejak menyatakan diri ingin menjadi calon kepala daerah.
Pendalaman dana kampanye melingkupi pelaporan, jenis audit dana kampanye, dan tim audit. Selain itu, mengingat politik biaya tinggi dalam pilkada berkorelasi dengan potensi korupsi kepala daerah yang terpilih, perlakuan auditnya menjadi berbeda.
"Semisal jenis audit laporan keuangan tidak sebatas audit kepatuhan. Pihak yang melakukan audit tidak sebatas Kantor Akuntan Publik (KAP) namun juga melibatkan instansi yang berkompeten dalam pemberantasan korupsi," kata Viryan.
"Selain tiga hal tersebut, ada sejumlah pengaturan lain yang juga penting untuk dimasukan dalam perppu, namun sepertinya masih perlu dimasak lagi agar matang dan masuk dalam rencana omnibus law bidang politik," tutur Viryan.
Namun, kata dia, sesuai hasil rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPR RI, fokus utama Perppu Pilkada pada Pasal 122 dan Pasal 201. Kedua pasal itu menyangkut waktu pemungutan suara dan kewenangan melakukan penundaan dan pilkada lanjutan.
"Namun bila dibuka ruang untuk hal lain dan diminta masukan oleh pemerintah selain dua hal tersebut, KPU siap memberi masukan lain," imbuh Viryan.