REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang ahli hikmah, Lukmanul Hakim, dikisahkan pernah menjanjikan makanan terlezat kepada majikannya. Saat disuguhkan, ternyata menu yang disajikan adalah lidah dan hati. Setelah menu tersebut habis, Lukman kembali menjanjikan kepada majikannya akan menyuguhkan masakan berbahaya.
Keesokan harinya, dia lantas membawa kembali menu itu ke hadapan majikan. Saat dibuka, ternyata menu itu tidaklah berbeda dengan yang disajikan kemarin. Lidah dan hati. Majikan bertanya kepada Lukman. Mengapa lidah dan hati menjadi makanan yang lezat sekaligus berbahaya? Lukman menjawab, “Lidah dan hati adalah pangkal bahagia. Tetapi lidah dan hati itu juga merupakan pangkal celaka.”
Menjaga lidah amat penting dilakukan orang yang beriman. Dari lidah muncul persengketaan dan pengkhianatan. Rasulullah SAW bahkan pernah bersabda, “Barang siapa yang memelihara lidahnya, akan ditutupkan Allah auratnya. Barang siapa yang sanggup menahan amarahnya, ia akan dipelihara Allah dari azab siksa. Sekiranya dia memohon uzur kepada Allah, keuzurannya itu akan dikabulkan.”
Tak terhitung sudah berapa kali lidah sudah mengungkap janji. Tak usah kita menghitung berapa banyak janji para pejabat, elit politik dan pemimpin negeri kepada rakyat yang tidak ditepati. Cukup muhasabah apa yang kita ucapkan, janjikan, realisasi dan ingkari? Apakah lebih banyak realisasi atau justru mengingkari?
Janji merupakan ciri orang beriman. Allah SWT berseru kepada kaum mukminin untuk teguh kepada janji. “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji” (QS Al Maidah ayat 1).