REPUBLIKA.CO.ID, Siti Manggopoh dinilai lihai memanfaatkan kecerdasan nalurinya untuk mencari informasi tentang kekuatan Belanda di daerahnya. Dengan taktik yang ia atur sedemikian rupa, Siti bersama pasukannya berhasil menewaskan 53 serdadu penjaga markas Belanda di Manggopoh pada satu malam di pertengahan Juni 1908.
Sambil meneriakkan takbir, Siti dan pasukannya berhasil membuat para serdadu Belanda jatuh bergelimpangan. Selanjutnya, suasana di sarang penjajah itu pun menjadi senyap. Siti dan kawan-kawan mengira pasukan Belanda yang menurut perhitungan mereka berjumlah 55 orang sudah mati semua.
Mereka pun berniat hendak kembali ke rumah masing-masing. Akan tetapi, di tengah langkah mereka yang akan pulang itu, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan. Pasukan Siti berlarian menyelamatkan diri. Malang bagi Siti, dia tertembak di punggung kanan atas. Sementara/ suaminya, Rasyid, tertembak di bagian selangkangan. Siti berusaha menemui Rasyid. Namun, ternyata masih ada dua serdadu Belanda yang masih hidup di lokasi itu. Siti dan Rasyid pun harus berpisah jalan buat sementara waktu.
Keesokan harinya, kedua serdadu Belanda tadi melaporkan peristiwa penyerangan pos Manggopoh tersebut ke markas mereka yang berada di Lubuak Basuang. Pimpinan Belanda di Lubuak Basuang pun segera mengirim bala bantuan dari Pariaman dan Bukittinggi untuk mengamankan Manggopoh. Sejak itu, Siti dan Rasyid menjadi buronan Belanda.
Pada saat bersamaan suasana Manggopoh kian mencekam. Para pemuka masyarakat dan ninik mamak Manggopoh ditangkap Belanda. Mereka lantas dipenjarakan di Lubuak Basuang. Sebagaian rakyat di nagara itu terpaksa mengurung diri mereka di rumah, sedangkan yang sebagian lagi mengungsi ke hutan. Manggopoh pun dijadikan daerah tertutup. Penduduk dilarang keluar masuk daerah itu secara bebas.
Setelah melawati 17 hari dalam pelariannya, Siti dan Rasyid akhirnya memutuskan untuk menyerahkan diri kepada Belanda. Keputusan itu mereka ambil lantaran sudah tidak tahan melihat kezaliman yang dilakukan Belanda terhadap rakyat Manggopoh.
Usai menyerahkan diri, Rasyid dan Siti mendekam di dalam tahananan di Lubuak Basuang selama 14 bulan. Selanjutnya, mereka dipindahkan ke penjara Pariaman dan menjalani masa kurungan di sana selama 18 bulan. Mereka lalu dipindahkan lagi ke penjara Padang dan mendekam di tempat itu selama 12 bulan.
Setelah merasakan kerasnya kehidupan penjara, Rasyid lantas dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Sementara, Siti yang juga minta dibuang bersama suaminya ke Manado malah dibebaskan Belanda dengan alasan masih memiliki anak kecil.
Siti Manggopoh wafat di Gasan Gadang, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat, pada 22 Agustus 1965. Pejuang perempuan itu mengembuskan napas terakhirnya di usia 85 tahun. Setahun sebelum kematiannya, pemerintah sempat menobatkan Singa Betina dari Ranah Minang itu sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.