REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Organisasi dan pemimpin Muslim di India membela Jamaah Tabligh yang disalahkan karena menggelar pertemuan di tengah masa lockdown (karantina wilayah) akibat dampak virus corona di negara itu. Setelah kerusuhan di Delhi, langkah menyalahkan Jamaat Tabligh itu menyebabkan munculnya serangan baru dalam kebencian komunal di media sosial.
Namun, mereka mengatakan, menjelekkan Jamaah Tabligh merupakan cara yang jelas untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan sistemis pemerintah dan krisis pekerja migran. "Meskipun tindakan itu tidak bertanggung jawab (mengizinkan pertemuan besar seperti itu, mengetahui Covid-19 telah memasuki negara ini), saya juga melihat ini sebagai kegagalan pihak berwenang," kata ketua Komisi Minoritas Delhi, Zafarul Islam Khan, kepada Anadolu Agency, Kamis (2/4).
Dia menilai, hal itu bernada balas dendam untuk menyalahkan kelompok Muslim tersebut ketika Ketua Menteri Uttar Pradesh Yogi Adityanath memimpin jabatan di Kota Ayodhya. Hal senada juga diungkapkan Presiden Jamaat-e-Islami Hind, Syed Sadatullah Hussaini. Dia mengatakan, negara justru harus bersatu melawan wabah virus corona.
"Menargetkan Jamaah Tabligh dan mengabaikan jumlah pertemuan yang lebih besar dan lebih tidak bertanggung jawab sama dengan bermain politik kotor dan polarisasi komunal," kata Hussaini.
Sebelumnya, Pemerintah India menutup markas Jamaah Tabligh di New Delhi. Para pejabat mengatakan, mereka telah meluncurkan perburuan di seluruh negeri untuk menemukan orang-orang yang telah menghadiri pertemuan kelompok Muslim tersebut pada 13-15 Maret 2020 lalu di kantor pusatnya di Nizamuddin.
Kantor pusat Jamaah Tabligh itu kini ditandai sebagai hotspot virus corona. Pemerintah daerah setempat mengatakan, setidaknya 24 orang yang mengikuti pertemuan Jamaah Tabligh dinyatakan positif Covid-19.
Namun demikian, kelompok Jamaah Tabligh justru mengatakan bahwa mereka telah mengikuti setiap arahan dari pemerintah dan menghentikan programnya begitu setelah Perdana Menteri Narendra Modi mengumumkan jam malam publik pada 22 Maret 2020. Mereka juga menyebut jika orang-orang terjebak di masjid karena pengumuman lockdown yang tiba-tiba oleh pemerintah.
"Kami memiliki kantor pusat di sini selama lebih dari 100 tahun terakhir, di mana jamaah/pengunjung datang dari seluruh dunia. Ketika PM Modi mengumumkan jam malam publik pada 22 Maret, program yang sedang berlangsung langsung dihentikan. Namun, karena pembatalan tiba-tiba dari layanan kereta api dan transportasi, sekelompok besar orang terjebak di tempat itu," kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.
Sejak satu hari jam malam sipil diikuti oleh kebijakan lockdown selama 21 hari pada hari berikutnya, kelompok Muslim itu mengatakan tidak ada moda transportasi yang tersedia bagi pengikutnya untuk kembali ke rumah mereka. Karena itu, mereka tidak mempunyai pilihan selain untuk tetap berada di markas yang dikenal sebagai Markaz atau Masjid Banglawali. Amir Jamaat Maulana Saad bahkan menulis surat kepada pejabat pengadilan untuk mengatur transportasi guna mengangkut orang-orang, bahkan menawarkan bangunan untuk digunakan sebagai fasilitas karantina.