Jumat 03 Apr 2020 05:49 WIB

Ilmuwan Rekonstruksi Iklim di Antartika 90 Juta Tahun Lalu

Ilmuwan menemukan vegetasi hutan hujan rawa pada masa 90 juta tahun lalu.

Rep: Pu/ Red: Dwi Murdaningsih
Pine Island Glacier, salah satu gletser di Antartika runtuh, Sabtu (15/2).
Foto: esa via live science
Pine Island Glacier, salah satu gletser di Antartika runtuh, Sabtu (15/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Ilmuwan menemukan hal yang mengejutkan saat melakukan rekonstruksi iklim di kutub selatan atau Antartika pada 90 juta tahun lalu. Ilmuwan menduga saat itu terdapat sebuah hutan hujan rawa.

Hutan hujan rawa ini terletak, kurang dari seribu kilometer dari Kutub Selatan. Sedimen terkubur yang diekstrasi dari dasar laut Antartika Barat mengandung serbuk sari kuno, akar fosil, dan bukti kimiawi lainnya dari hutan beragam yang berkembang jutaan tahun lalu.

Baca Juga

Sedimen ini menyisakan pertanyaan mengenai seberapa hangatnya Bumi di Zaman Kapur atau antara 92 juta hingga 83 juta tahun lalu. Dengan menganalisis jejak vegetasi dalam sedimen, para peneliti merekonstruksi kondisi iklim di lokasi tersebut.

Suhu tahunan rata-rata di hutan sekitar 13 derajat celcius. Suhu musim panas mencapai setinggi 20 derajat atau 25 derajat celcius.

Mid-Cretaceous diketahui sebagai salah satu periode terhangat di Bumi dalam 140 juta tahun terakhir, berdasarkan analisis fosil dan endapan yang dikumpulkan dari dasar laut yang lebih dekat ke garis khatulistiwa.

Tingkat karbon dioksida atmosfer diperkirakan setidaknya 1.000 bagian per juta. Perlu diketahui tingkat karbon dioksida atmosfer saat ini adalah rata-rata sekitar 407 ppm, tertinggi dalam 800 ribu tahun terakhir.  Namun, untuk hutan yang tumbuh sangat jauh di selatan, kondisi rumah kaca yang bahkan lebih kuat pasti ada daripada yang diperkirakan sebelumnya. 

Ahli geologi kelautan dari Alfred Wegener Institute di Bremerhaven, Jerman, Johann Klages mengatakan tingkat karbon dioksida atmosfer antara 1.120 dan 1.680 ppm.

"Ini menunjukkan kepada kita potensi karbon dioksida yang ekstrem, atau apa yang benar-benar dapat dilakukan oleh karbon dioksida. Bahkan tanpa cahaya selama empat bulan, Antartika masih bisa memiliki iklim sedang,” kata Klages, dilansir Science News, Kamis (2/4).

Tim mengambil inti sepanjang 30 meter dari dalam Amundsen Sea Embayment,  tempat gletser Thwaites dan Pine Island yang mencair dengan cepat mengalir ke laut. Sebelum menganalisis inti, Klages mengatakan para peneliti mengetahui bahwa ini istimewa, dengan sedimen tiga menter terbawah, yang bersesuaian dengan periode pertengahan Kapur.

"Kami telah melihat banyak inti dari Antartika, tetapi kami belum pernah melihat yang seperti itu," tambah Klages.

Serbuk sari pada intinya menyatakan bahwa hutan purba yang basah dan lembab ini adalah rumah bagi tumbuhan runjung, pakis dan semak berbunga, serta tikar bakteri. Analisis sedimen tidak menunjukkan jejak garam, menunjukkan bahwa itu adalah rawa air tawar.

Klages mengatakan data-data yang didapatkan tentang hutan merupakan bukti bahwa Antartika sebagian besar bebas es selama Cretaceous pertengahan. Karbondioksida yang tinggi saja tidak akan cukup untuk menjaga suhu tetap nyaman di dekat kutub.

Jika ada lapisan es putih terang, itu akan memantulkan banyak sinar matahari yang masuk kembali ke ruang angkasa, menjaga tanah tetap dingin. Tetapi, vegetatif memiliki efek sebaliknya, menyerap lebih banyak panas matahari dan memperkuat pemanasan rumah kaca.

“Studi ini merupakan catatan yang jelas tentang kondisi yang lebih hangat, serta flora hutan yang beragam di Kutub Selatan”, kata Julia Wellner, seorang ahli geologi di University of Houston.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement