Pandemik virus corona telah menyebabkan sejumlah warga Indonesia di Australia dikurangi jam kerjanya, bahkan terancam kehilangan pekerjaan.
Mulai Senin siang (23/03), sejumlah tempat di Australia telah dipaksa tutup, menyusul langkah pemerintah Australia untuk memperketat jumlah kerumunan, untuk menekan laju penyebaran virus corona.
Sejak Australia memerangi pandemik COVID-19, dampaknya terhadap sektor ekonomi sudah diperkirakan, dimana bisnis-bisnis di Australia mengalami penurunan pendapatan, bahkan kerugian.
Akibatnya pelaku industri di sejumlah sektor dan pemilik bisnis terpaksa mengurangi jumlah pegawai yang dibutuhkannya.
Leonhard Dengah, adalah warga Indonesia di Melbourne yang sedang menempuh pendidikan diploma jurusan memasak.
Untuk membayar uang sekolah dan mencukupi kebutuhan hidup, ia mengaku harus bekerja paruh waktu di dua tempat yaitu, restoran dan kafe.
Namun, sejak mewabahnya virus corona, jadwal kerja Leon di kedua tempat tersebut berkurang hingga 30 sampai 50 persen dari biasanya.
Ia pun harus menghadapi masalah besar, setelah pemerintah meminta restoran, bar, pub, untuk tutup sementara.
"Mulai Selasa besok restoran kami tutup, jadi saya kehilangan pekerjaan," jelas Leon kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Untuk sementara saya stay home dulu, sambil coba daftar-daftar di supermarket yang katanya buka banyak lowongan."
Pria yang sudah tinggal di Melbourne sejak tahun 2018 ini tidak sendiri. Teman kuliahnya yang bekerja di bidang perhotelan juga mengeluhkan hal yang sama.
"Teman-teman sejawat yang kerja di bidang perhotelan lagi susah cari kerja juga. Banyak yang di 'lay-off' [atau diberhentikan]. Banyak bisnis tutup karena rugi."
Hal yang sama juga dialami Jane Esther, seorang mahasiswi diploma di jurusan Ilmu Memasak Komersial dan Manajemen Perhotelan.
Jane sebelumnya bekerja di sebuah restoran, sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar tiga minggu lalu.
"Kepala koki membuat jadwal sampai tiga minggu ke depan, dan yang saya lihat jadwal kerja saya dari semula 30 jam atau 40 jam tiba-tiba hanya tinggal 10 jam," kata Jane.
"Sebenarnya saya tidak diharuskan keluar dari tempat itu, tapi penghasilan dari jadwal kerja 10 jam tidak akan mencukupi. Dan sebagai seorang siswa, uang sekolah juga tetap berjalan," kata Jane yang mengaku membayar uang sekolahnya sendiri.
"Jadi saya mencari pekerjaan lain untuk minimal bisa mendapatkan 20 jam kerja."
Hari Minggu kemarin (22/03), Jane menerima kabar jika restoran tempatnya bekerja dulu akan tutup sementara mulai hari Senin, untuk mendorong upaya 'social distancing'.
Seperti halnya Leon, ia kini dalam proses melamar pekerjaan supermarket yang sedang membuka lowongan besar-besaran bagi mahasiswa internasional.
Jatah sewa satu bulan lenyap
Tak hanya di restoran, pemotongan jam kerja juga dialami oleh Livia yang sudah satu tahun lamanya bekerja paruh waktu di sebuah hotel bintang lima di pusat kota Melbourne, Australia.
"Biasanya dalam satu minggu, saya dapat jadwal kerja 16-18 jam. Tapi mulai minggu ini, hanya dapat 8 sampai 9 jam," kata mahasiswi sekolah kejuruan William Angliss Institute ini.
"Banyak pelanggan yang membatalkan pemesanan kamar, penggunaan ruang fungsi, dan acara-acara. Karena sepi sekali dan mungkin stafnya terlalu banyak dan membayarnya terlalu mahal, jadi [hotel] berusaha mengurangi jumlah."
Kepada ABC Indonesia, Livia mengatakan pihak hotel tidak dapat memastikan kapan jadwal pekerjaan para pegawai hotel akan kembali seperti semula.
"Mereka tidak janji, dan sempat menyuruh kami untuk ambil 'annual leave' [atau cuti tahunan] karena dengan seperti itu akan tetap dibayar dan tetap ada penghasilan."
Menurut Livia, pengurangan jam kerja yang ia alami sejak pekan lalu memberikan dampak yang signifikan dan mendorongnya untuk mencari pekerjaan paruh waktu baru.
"Sebelumnya, saya bisa membayar uang sewa dan mencukupi biaya kehidupan selama satu bulan," kata Livia.
"[Namun] sejauh ini saya belum minta bantuan dari orangtua. Mungkin menghemat-hemat dulu sambil cari pekerjaan lain untuk menutup biaya hidup bulanan]".
Pendapatan tidak menentu
David, yang nama aslinya tidak ingin disebutkan, bekerja sebagai kurir minuman alkohol di Melbourne juga terpaksa harus berhemat.
Hal tersebut terpaksa ia lakukan mengikuti perubahan peraturan dari perusahaannya akibat wabah virus corona, yang telah menurunkan jumlah pembelian minuman dan menimbulkan kerugian cukup besar.
"Sistem gaji kami akan berubah. Kalau dulu kan dibayar per jam, sedangkan kalau sekarang dibayar per pesanan. Jadi kalau tidak ada 'order', tidak dapat uang."
David terpaksa harus menggunakan tabungannya untuk membeli kendaraan baru untuk mengejar pesanan dari para pembeli.
Sementara itu, karena peraturan baru perusahaan, total upahnya berkurang hingga AU$ 100, atau sekitar Rp 900 ribu per hari.
"Kalau biasanya kerja seharian dari pagi bisa dapat sekitar AU$ 300 [Rp2,7 juta] per hari, sekarang menurut teman-teman saya maksimum AU$ 200 [Rp1,8 juta]," katanya.
David yang juga adalah seorang mahasiswa yang mendapat beasiswa memang tidak perlu membayar uang sekolahnya sendiri.
'Tak mau tinggal diam'
Namun di saat pekerja 'casual' dan paruh waktu asal Indonesia sedang bingung mencari pekerjaan tambahan di Australia, Awan merasa beruntung karena mendapat pekerjaan sampingan sebagai pemetik anggur.
Awan yang bekerja di sebuah pabrik vitamin di Melbourne, sudah mengira jadwal kerjanya akan dikurangi melihat semakin sedikitnya stok bahan baku di tempat kerja.
Menurutnya, tidak memadainya bahan baku berupa botol, kardus, dan kaleng yang diimpor dari China turut menghambat proses produksi.
Hal ini pun mempengaruhi status pegawai paruh waktu di pabrik vitamin tersebut.
"Waktu saya lihat di gudang-gudang sudah tidak ada bahan baku, kami berpikir, 'wah, sudah tidak bisa kerja nih, karena apa yang mau dikerjakan?'" kata Awan.
"Botol-botol sudah tidak ada, kapas tidak ada, stok menipis dan pasti kita sudah tahu pasti tidak dapat jadwal. Ternyata benar."
Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk bekerja paruh waktu di kebun anggur.
"Ketika tidak dapat jadwal, saya tidak mau diam saja. Butuh uang juga untuk [hidup] di sini [Australia]," katanya.
"Pabrik memang lagi resesi, untung ada 'farm' [atau pekerjaan di perkebunan], kalau tidak, kita gigit jari."
Setelah dua minggu bekerja sebagai pemetik anggur, Awan akhirnya kembali mendapatkan jadwal di bagian pengemasan produk di pabrik vitamin, tempatnya bekerja selama hampir delapan bulan.
Walau sering merasa khawatir untuk meninggalkan rumah demi mencari nafkah, Awan mengatakan dirinya masih termasuk beruntung.
"[Sebagai pekerja kami merasa] antara takut untuk pergi keluar tapi kita harus cari kerja. Namun lebih kasihan juga negara-negara lain yang kasus virus coronanya sudah lebih banyak dari kita," kata Awan.
"Kami termasuk bersyukur, walaupun ada kasus virus corona tapi masih bisa beraktivitas," tambahnya.
Harapan untuk pemerintah Australia
Sambil mencoba melamar ke supermarket, Leon mengatakan pengeluaran terbesarnya saat ini adalah membayar uang sewa tempat tinggal dan biaya sekolah.
Ia berharap jika ada keringanan bagi dirinya dan mahasiswa internasional yang membayar biaya sekolah sendiri untuk bisa menangguhkan pembayarannya.
Jane juga meminta agar ada pertimbangan penangguhan pembayaran biaya ini, ditambah menggratiskan biaya transportasi.
"Kekhawatiran aku kalau lama-lama enggak dapat kerja, kita habis uang, karena sebagai pelajar internasional di sini juga tidak bisa menabung banyak," kata Jane.
Pemerintah Australia telah menyiapkan sejumlah paket bantuan kepada mereka yang pekerjaannya terdampak virus corona, namun bantuan ini tidak diakses oleh mereka yang bukan warga negara atau penduduk tetap.
Simak berita lainnya di ABC Indonesia dan ikuti kami di Facebook dan Twitter.