REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dedy Darmawan, Rizky Suryarandika, Farah Noersativa, Rr Laeny Sulistyawati
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mengajak para pelaku ekonomi kreatif khususnya desainer lokal untuk berpartisipasi dalam Gerakan Masker Kain. Gerakan ini menargetkan bisa memproduksi 100 ribu masker kain yang akan dibagikan kepada masyarakat untuk menekan penyebaran Covid-19 di Indonesia.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kemenparekaf, Josua Puji Mulia Simanjuntak menjelaskan, gerakan ini terbuka bagi para pelaku atau desainer lokal subsektor fesyen di Indonesia.
Mereka, kata dia, bisa mendaftar untuk turut serta dalam gerakan tersebut mulai 1–5 April 2020. Caranya dengan mengisi formulir melalui tautan bit.ly/GerakanMaskerKain yang terdapat dalam kanal media sosial Kemenparekraf.
“Gerakan Masker Kain bertekad bisa memproduksi total 100 ribu masker kain yang akan didistribusikan kepada pekerja pariwisata (PHRI), pekerja kreatif (asosiasi kreatif), pekerja publik (Transjakarta, MRT, Pertamina, dan sebagainya) serta pekerja sektor lainnya yang diusulkan,” kata Josua di Jakarta, Kamis (2/4).
Josua menjelaskan, gerakan tersebut muncul sebagai bentuk keprihatinan karena kelangkaan masker di pasaran. Kalaupun ada harga yang ditawarkan sangat tidak wajar.
Hal itu kemudian mendorong Kemenparekraf berinisiatif untuk mengajak para pekerja mode agar menggerakkan usahanya dengan membuat masker kain dari kain perca atau sisa bahan kain produksi mereka.
Selain itu, kata dia, gerakan ini bertujuan untuk mengajak dan mengedukasi masyarakat agar tetap menjaga kesehatan di tengah pandemi Covid-19.
Penggunaan masker kain pun dianggap cukup memadai bagi mereka yang sehat. Maka dengan semakin banyaknya masyarakat menggunakan masker kain, suplai masker medis akan lebih mudah didapatkan oleh mereka yang lebih membutuhkan termasuk tenaga medis, pasien ODP, PDP, dan positif Covid-19.
“Masker yang terbuat dari kain ini telah diteliti cukup untuk meminimalisasi kontak langsung dengan debu, virus, dan droplet di luar rumah jika memang tidak dapat melakukan kerja dari rumah dan harus berinteraksi dengan banyak orang,” katanya.
Selain itu, lanjut dia, upaya itu diharapkan bisa membantu mengingatkan atau menggerakkan usaha para desainer lokal dari sektor mode Indonesia yang ikut terdampak dari wabah Covid-19 sehingga mereka tetap dapat terus bertahan hidup. “Selain juga memanfaatkan sisa bahan kain dari produksi garmen untuk mengurangi sampah industri mode sehingga bisa menerapkan zero waste,” katanya.
Dokter Spesialis Paru RSUP Persahabatan, Erlina Burhan menyampaikan penggunaan masker kain sebenarnya kurang efektif mencegah penularan virus corona jenis baru penyebab Covid-19. "Kenapa? Karena masker kain tidak bisa memproteksi masuknya semua partikel dan ini tidak disarankan bagi tenaga medis. 40 hingga 90 persen partikel bisa menembus masker. Idealnya dikombinasikan dengan penutup wajah," ujar Erlina.
Menurut dia, terdapat sejumlah mekanisme penularan virus, dua di antaranya melalui droplet dan airbone (partikel kecil yang terbawa udara). Masker kain ini memang memiliki perlindungan dari droplet, meski kecil. Tingkat perlindungan bagi partikel droplet ukuran tiga mikron hanya 10 sampai 60 persen. Jadi masih tergolong tinggi potensi penularannya.
"Masker kain, perlindungan terhadap droplet ada, tapi tidak ada perlindungan terhadap aerosol atau partikel yang airbone," kata dia.
Meski begitu, kata dia, pengunaan masker kain ini bisa digunakan sebagai pilihan terakhir jika ketersediaan masker bedah sudah sangat langka di pasaran. Tapi itu pun dengan catatan, bahwa yang wajib menggunakan masker bedah adalah orang sakit dan tenaga medis, sementara masyarakat sehat dapat menggunakan masker bedah jika keluar rumah atau merawat orang sakit.
"Kalau orang sehat memborong dan memakai (masker bedah) maka ketersediaan masker ini tidak ada lagi bagi tenaga kesehatan maupun orang sakit, dan ini berbahaya kalau orang sakit tidak ada akses terhadap masker bisa jadi orang sakit ini jadi sumber penularan kita semua," kata dia.
Sementara masker bedah, efektif mencegah partikel airbone ukuran 0,1 mikron dari 30 hingga 95 persen. Namun masih memiliki kelemahan yakni tidak bisa menutupi permukaan wajah secara sempurna terutama di sisi samping kiri dan kanan masker. "Kelemahan lainnya hanya bisa digunakan sekali pakai," kata dia.
Adapun masker N95, memang tingkat efektifitas pencegahan penularan mencapai 95 persen namun masker ini tidak boleh dipakai oleh sembarang orang dan menjadi protokol wajib tenaga kesehatan yang harus berkontak langsung dengan pasien penderita.
"N95, masker ini mempunyai proteksi yang baik untuk droplet dan juga memiliki proteksi aerosol. Makanya dianjurkan oleh tenaga medis, bukan masyarakat, dan efektifitasnya cukup tinggi partikel ukuran 0,1 mikron aerosol sampai 95 persen," kata dia.
Penggunaan masker kain bergema di dunia maya sejak pegiat media sosial, Ismail Fahmi, menggulirkan gerakan #100JutaMasker agar masyarakat memproduksi masker kain. Kepada Republika.co.id, pendiri Drone Emprit itu mengatakan, gerakan tersebut lahir karena ia tak ingin tenaga kesehatan kehabisan masker bedah.
"Publik umum non medik? Kita cari cara lain. Kita bantu mereka dengan tidak menggunakan masker yang mereka butuhkan," ujar Ismail melalui akun Twitter @ismailfahmi pada 21 Maret.
Bukan hanya produksi masker kain, sejumlah desainer, pengusaha mode, atau bisnis lain juga banting setir beralih memproduksi alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis. Langkah tersebut dilakukan tidak hanya demi bertahan hidup karena dunia mode yang ikut sepi, melainkan juga untuk membantu tenaga medis di lapangan mendapatkan APD yang mencukupi.
Ikatan Dokter Indonesia tidak bisa membuat estimasi berapa jumlah ideal kebutuhan APD. "Kalau bicara jumlah ideal butuh banyak banget, karena kalau bicara kebutuhan APD hanya diarahkan untuk RS rujukan atau yang merawat positif Covid-19. Padahal kan ada fasilitas kesehatan yang juga membutuhkan APD utamanya fasilitas kesehatan frontliner yaitu puskesmas, klinik, rumah sakit swasta yang pertama kali menerima pasien positif Covid-19," ujar Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Muhammad Adib Khumaidi.
Adib melanjutkan, persoalan ditambah dengan APD ini hanya sekali pakai. Ia menyebutkan dibutuhkan tiga APD dipakai untuk per hari karena tenaga medis bekerja dibagi menjadi tiga shift. Tak hanya itu berdasarkan standar Kementerian Kesehatan bahwa APD untuk tenaga medis harus menggunakan masker jenis N95 karena menjalin kontak dengan pasien.
Kemudian, dia melanjutkan, tenaga kesehatan ini harus menggunakan baju hazmat saat merawat pasien. Adib mengestimasi jika semua dokter harus bisa melayani Covid-19 yang juga anggota IDI saja sekitar 185 ribu orang, kemudian ditambah perawat yang jumlahnya lebih dari 1 juta. Karena itu pihaknya menyambut baik ketika pemerintah mendatangkan 3 juta APD.
"Okelah itu cukup tapi hanya dalam kurun waktu tertentu. Yang terpenting distribusinya juga dikontrol," katanya.