REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang kasus suap proses PAW anggota DPR terpilih pada Kamis (2/4). Sidang tetap digelar meski salah satu tersangka penyuap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Harun Masiku masih buron.
Sidang mengagendakan pembacaan dakwaan terhadap penyuap mantan Komisiner KPU, Wahyu Setiawan, Saeful Bahri. Dalam sidang itu, hanya Majelis Hakim yang hadir di PN Tipikor Jakarta, sementara JPU KPK dan terdakwa menghadiri persidangan secara daring dari Gedung KPK Jakarta dengan video konferensi.
Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Saeful memberikan suap kepada eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan sebesar 19 ribu dollar Singapura dan 38,350 ribu dollar Singapura. Salah satu JPU KPK yang membacakan dakwaan Ronald F Worotikan menyebut uang suap Saeful berasal dari Caleg PDI P Harun Masiku. Diketahui, sampai dibacakannya dakwaan, status Harun masih buron. KPK belum juga berhasil menemukan Harun.
Dalam dakwaan Saeful diduga melakukan suap bersama-sama dengan Harun Masiku dan mantan Komisioner Bawaslu Agustiani Tio Fridelina kepada Wahyu agar meloloskan Harun Masiku menjadi anggota DPR RI Periode 2019-2024 melalui mekanisme PAW. "Terdakwa telah memberi uang secara bertahap sejumlah 19 ribu dollar Singapura dan 38,350 dollar Singapura yang seluruhnya setara dengan Rp 600 juta kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara anggota Komisioner KPU Wahyu Setiawan," kata Jaksa KPK, Ronald F. Worotikan saat membacakan dakwaan, Kamis (2/4).
Suap dilakukan agar Wahyu Setiawan mengupayakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, menyetujui permohonan PAW Partai PDI Perjuangan dari Rezky Aprilia sebagai anggota pemenangan di Daerah Pilih dari Sumatera Selatan (Sumsel 1) digantikan Harun Masiku. Hal tersebut, bertentangan dengan kewajiban Wahyu.
Masih dalam dakwaan juga disebutkan bahwa Sekjen PDI P, Hasto Kristiyanto dalam rapat pleno DPP PDI Perjuangan meminta Donny Tri Istiqomah selaku penasihat hukum PDIP untuk mengajukan permohonan ke KPU. Mendengar keputusan Rapat Pleno PDI P pada Juli 2019, Harun kemudian melakukan pertemuan dengan Saeful Bahri di kantor DPP PDIP.
"Dalam kesempatan itu Harun meminta tolong kepada terdakwa agar dirinya dapat menggantikan Riezky Aprilia dengan cara apapun yang kemudian disanggupi oleh terdakwa," ungkap Jaksa Ronald.
PDIP pun menyampaikan surat permohonan merujuk hasil rapat Pleno PDIP dengan mengirimkan surat nomor 2576/EX/DPP/VIII//2019 kepada KPU RI, perihal Permohonan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.57P/HUM/2019, yang pokoknya meminta suara pemenangan Nazzarudin dialihkan kepada Harun.
Setelah surat permohonan diajukan, Harun mendatangi gedung KPU RI untuk menanyakan permohonan PDIP yang meminta dirinya menggantikan Riezky sebagai anggota DPR. Saat itu Harun bertemu dengan Ketua KPU RI Arief Budiman.
Namun, saat itu KPU RI pun tetap bersikukuh bahwa permohonan PDIP tidak dapat dipenuhi karena dianggap melanggar ketentuan UU. Mencoba mencari celah, tersangka mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina mencoba meminta bantuan kepada Wahyu dengan mengirim surat permohonan hasil rapat Pleno PDIP melalui pesan Whatsapp.
"Dan Wahyu Setiawan membalas dengan isi pesan ' Siap Mainkan'," ujar Ronald.
Namun, pada 1 Oktober 2019 Riezky Aprilia tetap dilantik menjadi Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Dapil I Sumatera Selatan. Melihat keadaan yang tak sejalan, pada 5 Desember 2019, Agustiani pun menawarkan sejumlah uang operasional Rp 750 juta kepada kepada Wahyu untuk membantu menggantikan posisi Riezky oleh Harun.
"Mas, operasionalnya 750 cukup mas ?" Dan dibalas oleh Wahyu dengan pesan message "1000" yang maksudnya uang sebesar Rp 1 miliar," ungkap Ronald
Selanjutnya, permintaan Wahyu disampaikan oleh Agustiani bersama terdakwa Saeful kepada Harun Masiku. Dimana dalam kesepakatan untuk memuluskan Harun menjadi anggota DPR sebesar Rp 1.5 miliar.
Adapun, uang yang diserahkan kepada Wahyu dilakukan secara bertahap oleh Saeful dan Agustiani, dengan rincian Rp 400 juta dan Rp 200 juta. Pada 8 Januari 2020 Wahyu kembali meminta sisa uang kepada Saeful dan Agustiani. Namun, saat itu KPK langsung melancarkan operasi tangkap tangan.
Atas perbuatannya, Saeful Bahri diancam pidana dalam pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.