REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga saat ini, Indonesia tidak memberlakukan lockdown untuk mengendalikan penyebaran virus corona tipe baru yang menyebabkan penyakit Covid-19. Padahal, per Kamis (2/4), kasus positif Covid-19 sudah mencapai 1.790 dengan korban meninggal sebanyak 170 dan yang sembuh 112 orang.
Apa sebenarnya yang membuat Indonesia sulit melakukan lockdown? Kandidat master kesehatan masyarakat dari Johns Hopkins School of Public Health, Amerika Serikat, dr Aqsha Azhary Nur, menjelaskan bahwa Indoensia sulit sekali lockdown dan menerapkan kebijakan agresif karena pengalaman menghadapi pendemi sebelumnya dan kesiapan sistem kesehatan Indonesia.
"Ada konteks sosial yang perlu diperhatikan bersama," jelas Aqsha dalam Health Talk Series yang dihelat Imani Prokami melalui fitur Instagram Live, Rabu (1/4).
Masalah pertama yang menjadi kendala dalam menerapkan lockdown, menurut Aqsha, adalah keterbatasan APBN. Selain itu, banyak dari penduduk bekerja di sektor informal, sebut saja pedagang di jalan, buruh pabrik dengan pendapatan sesuai atau di bawah upah minimum regional (UMR), atau sopir angkutan.
Ketika terjadi pembatasan sosial dengan sangat ketat, misalnya di pusat wabah, yakni DKI Jakarta, maka kalangan masyarakat yang berada di rentang garis kemiskinan akan masuk jatuh ke jurang kemiskinan. Aqsha mengatakan, pekerja yang tak mungkin bekerja dari rumah akan sangat terdampak ketika karantina wilayah diterapkan.
Aqsha mengatakan, andaikan karantina wilayah diberlakukan di Jakarta, masyarakat golongan ekonomi ke bawah akan terdampak. Kini pun, mereka mulai merasakan dampaknya, bahkan ada yang sampai kehilangan pekerjaan.
Tak heran jika banyak dari mereka yang akan melakukan mudik jauh sebelum Ramadhan tiba. Aqsha mengatakan, biaya hidup yang sangat tinggi di kota, mendorong mereka memilih untuk pulang ke kampungnya.
“Bayangkan orang-orang yang ada di Jakarta yang mungkin berisiko menjadi pembawa virus ini, dia akan berpindah, bermigrasi menuju daerah masing-masing," kata Aqsha.
Saat APBN terbatas, menurut Aqsha, pemerintah akan sukar untuk bisa memberikan biaya hidup berupa memberikan bantuan langsung supaya orang-orang tetap bisa membeli makanan untuk hidup sehari-harinya. Tanpa tunjangan tersebut, maka warga akan bermigrasi ke daerah.
"Orang-orang tersebut ketika mereka mudik, maka virusnya pun menempel di baju, virus ikutan ke daerah kampung masing-masing. Ini membuat konteksnya cukup rumit di Jakarta," ungkapnya dalam bincang kesehatan tentang "Prediksi Perkembangan Covid-19 dan Respons Masyarakat Mencegah Penyebaran Bersama-sama".
Di lain sisi, Aqsha menyoroti ketidaksiapan Indonesia dalam menghadapi kasus ini. Terlebih, alat pelindung diri (APD) untuk tenaga medis sangat terbatas.
Selain itu, menurut Aqsha, pemerintah belum optimal dalam mengomunikasikan langkah pencegahan Covid-19 secara bersama-sama. Ia mencermati, yang ramai hanya di media sosial, Jakarta, dan di kota besar lainnya.
"Tetapi itu tidak sampai di segmen lain di masyarakat," ungkapnya.
Aqsha mengatakan, dalam konteks sosial budaya, harus dipahami bahwa masyarakat Indonesia sukanya berkumpul, Ketika terjadi masalah, warga cenderung suka berdoa bersama.
Padahal, virus corona tingkat penularannya sangat tinggi dalam kerumunan orang. Aqsha mengatakan, tantangan terbesar bagi pemerintah ialah mengomunikasikan seruan pencegahan, seperti jaga jarak satu sama lain.
Tetapi, menurut Aqsha, segmen masyarakat kita sulit memahami komunikasi seperti itu. Ia pun menganggapnya sebagai tantangan untuk bisa menciptakan gerakan di masyarakat yang efektif.
"Sebetulnya, target-target gerakan di masyarakat harus menyasar segmen seperti ini,” ujarnya.