REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Para tenaga medis di Filipina tidak hanya berjuang melawan Covid-19. Mereka juga saat ini sedang memerangi stigma yang muncul di masyarakat karena ketakutan penularan pada masyarakat, bahkan saat perawat Filipina mendapat berbagai dilema.
Salah satu tenaga kesehatan di the Medical City-Iloilo, Joaquin Sapul, menyatakan kepanikan lain tatkala pasien pertama diumumkan di tempatnya bekerja. Menurut dia, banyak dari rekan kerjanya yang mendapat penyerangan, mulai dari pengusiran hingga penjegalan untuk bekerja.
“Setidaknya enam perawat menghubungi saya sambil menangis. Mereka diusir, beberapa lainnya dicegah meninggalkan rumah,” ujar dia seperti dilansir Aljazeera, Kamis (2/4).
Bahkan, pada hari-hari berikutnya staf rumah sakit hingga petugas kebersihan diminta untuk meninggalkan rumah mereka. Tak jarang, angkutan umum dan restoran terdekat juga menolak keberadaan mereka dengan menggantungkan tanda penolakan melayani pekerja rumah sakit.
Kekhawatiran makin tampak setiap harinya. Terlebih, ketika Rabu (1/4) ada 2.311 kasus positif Covid-19 dengan 96 kematian, 17 di antaranya adalah dokter. Bahkan, pada Selasa (31/3) ada 538 kasus baru. Jumlah ini menjadi peningkatan yang tertinggi dalam satu hari.
Di tengah meningkatnya kasus tersebut, tenaga kesehatan Filipina justru mendapat dilema. Mereka dihadapkan "pilihan" mendapat diskriminasi dan pelecehan atau merawat dengan alat pelindung diri (APD) seadanya. Hal tersebut juga terlihat dari beberapa foto tenaga kesehatan yang menggunakan kantong sampah dan helm sepeda motor sebagai APD.
Laporan demi laporan makin meningkat dari tenaga kesehatan. Salah seorang petugas kesehatan dilempar pemutih ke wajahnya oleh sekelompok pria. "Tindakan kekerasan ini tidak dapat ditoleransi," kata departemen kesehatan, mengutuk insiden itu dalam sebuah pernyataan
Menanggapi hal tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, petugas kesehatan kerap kali menjadi sasaran ketika ada bencana atau konflik. Bahkan, menurut mereka, 38 persen petugas juga cenderung mengalami kekerasan dalam satu titik pada profesi profesional mereka.
"Petugas kesehatan kelelahan dan frustrasi dengan kurangnya dukungan dari pemerintah dalam menyediakan alat pelindung dasar. Jika kita tidak menghentikan pelecehan ini, perawat dapat mengundurkan diri," kata Presiden Aliansi Pemimpin Perawat Muda Reigner Antiquera.
Dalam studi kesehatan yang dibuat negara itu, Filipina memiliki sekitar 187.540 petugas kesehatan dan hampir setengahnya merupakan perawat. Rasio perawat ke pasien paling rendah adalah 12,6 perawat per 10 ribu orang. Sementara itu, di daerah perdesaan, rasio makin mengecil menjadi 4,2 perawat per 10 ribu.
Membicarakan gaji, perawat di rumah sakit pemerintah ataupun swasta Filipina juga sangat kecil. RS pemerintah hanya membayar 250 hingga 350 dolar AS per bulannya. Swasta lebih kecil lagi, hanya berkisar 200 hingga 250 dolar AS per bulannya.
Mahkamah Agung Filipina memang sempat mewacanakan kenaikan gaji menjadi 600 dolar AS per bulannya meski implementasi belum ada sama sekali. "Saya dapat memberi tahu Anda bahwa tidak ada perawat yang menghasilkan uang sebanyak itu," kata Presiden Kelompok Serikat Aliansi Pekerja Kesehatan, Robert Mendoza.
Terkait minimnya penghasilan, banyak perawat Filipina yang meninggalkan negaranya. Bahkan, mengacu pada data pemerintah setempat, ada 19 ribu perawat yang meninggalkan Filipina antara 2012 dan 2016. Kebanyakan mereka pergi bekerja di AS, Jerman, atau negara lainnya untuk gaji yang lebih tinggi.
Sebagai contoh, perawat Filipina yang hijrah ke AS untuk bekerja mendapatkan penghasilan rata-rata sekitar 3.800 dolar AS, belasan kali lipat daripada di Filipina. Bahkan, Jerman membuka perekrutan khusus dalam tanggap Covid-19 di negaranya. Setidaknya ada 75 perawat Filipina yang pergi ke sana.
"Anda tidak dapat menyalahkan perawat yang meninggalkan negara, telebih ketika banyak yang tidak menghargai profesi kita," ungkap seorang praktisi keperawatan dan konsultan, Alvin Dakis.