Jumat 03 Apr 2020 04:36 WIB

3 Fakta Seputar Sinar Matahari dan Virus Corona

Banyak orang meyakini sinar matahari dapat membunuh virus corona.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Sejumlah warga Kampung Buaran berjemur di atas rel kereta api di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). Banyak orang meyakini sinar matahari dapat membunuh virus corona.
Foto: Antara/Suwandi
Sejumlah warga Kampung Buaran berjemur di atas rel kereta api di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/4/2020). Banyak orang meyakini sinar matahari dapat membunuh virus corona.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu informasi yang banyak beredar di media sosial terkait pandemi Covid-19 adalah sinar matahari dapat membunuh virus corona. Oleh karena itu, belakangan ini banyak orang memanfaatkan sinar matahari sebagai "alat" untuk membunuh virus yang menempel di kulit, baju, hingga beragam objek lain. Efektifkah?

Secara singkat, sinar matahari bisa dikatakan bukan media yang efektif untuk melindungi tubuh dari virus corona. Berikut ini adalah penjabarannya seperti dilansir BBC.

Baca Juga

Sinar berbahaya

Matahari memiliki tiga jenis sinar ultraviolet, yaitu ultraviolet A (UVA), ultraviolet B (UVB), dan ultraviolet C (UVC). UVA merupakan radiasi sinar matahari yang paling banyak sampai ke permukaan bumi. UVA memiliki kemampuan untuk masuk ke dalam kulit dan bertanggung jawab atas 80 persen proses penuaan kulit, seperti kerutan hingga bintik penuaan (age spot).

UVB merupakan radiasi sinar matahari yang dapat merusak DNA di kulit. Paparan UVB inilah yang kerap menyebabkan keluhan kulit terbakar dan bahkan kanker kulit. Belakangan, ilmuwan menemukan bahwa UVA juga bisa memicu terjadinya kanker kulit. Baik UVA maupun UVB bisa dihalau dengan penggunaan tabir surya pada kulit.

UVC merupakan radiasi sinar matahari yang memiliki kemampuan baik dalam menghancurkan material genetik, baik pada manusia maupun partikel virus. Untungnya, UVC "tersaring" oleh ozon di atmosfer sehingga tidak sampai menjangkau dan merusak kulit manusia.

UVC buatan

Pada 1878, ilmuwan berhasil menciptakan UVC buatan yang bisa dimanfaatkan untuk membunuh mikroorganisme. Sejak saat itu, UVC buatan ini kerap digunakan sebagai alat sterilisasi di berbagai fasilitas umum, seperti rumah sakit, pesawat, bis, perkantoran, hingga pabrik.

Di China, beberapa rumah sakit bahkan memanfaatkan robot yang memancarkan UVC untuk membersihkan lantai. Beberapa bank juga memanfaatkan UVC untuk membunuh kuman dan virus yang menempel pada uang.

UVC buatan juga berperan penting dalam proses sanitasi air minum. UVC buatan berperan dalam membunuh parasit yang resisten terhadap disinfektan kimia seperti klorin.

Saat ini, belum ada penelitian yang menyoroti efektivitas penggunaan UVC dalam membunuh virus corona penyebab Covid-19, yaitu SARS-Cov-2. Akan tetapi, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa UVC bisa digunakan untuk membunuh virus corona jenis lain yang menyebabkan penyakit SARS, yaitu SARS-CoV atau SARS-COV-1.

UVC bisa membunuh SARS-CoV karena radiasi ini akan menyelimuti struktur material genetik virus tersebut. Kondisi ini membuat SARS-CoV tak mampu untuk memperbanyak diri.

Akan tetapi, UVC memiliki kemampuan merusak yang juga berbahaya untuk manusia. Sebagai contoh, manusia bisa merasakan sensasi kulit terbakar setelah terpapar UVB selama beberapa jam. UVC hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja untuk bisa menyebabkan kulit terbakar seperti itu.

Contoh lainnya, sensasi mata berpasir biasanya akan dirasakan seseorang setelah menatap matahari. Mata yang terpapar UVC akan merasakan sensasi ini 10 kali lipat lebih berat hanya dalam waktu beberapa detik.

"UVC itu sangat jahat, Anda tak seharusnya terpapar oleh (UVC) ini," jelas Dan Arnold dari UV Light Technology.

Oleh karena itu, Arnold mengatakan, penggunaan UVC buatan yang aman tidak boleh sembarangan. Dibutuhkan peralatan dan pelatihan khusus agar UVC buatan bisa dimanfaatkan secara aman.

Sinar matahari bukan solusi

Mengingat UVC tersaring di ozon, hanya UVA dan UVB yang sampai ke permukaan bumi. UVA dan UVB memang berpotensi bisa membunuh kuman dan virus, akan tetapi UVA dan UVB sebaiknya tidak dijadikan sebagai andalan utama.

Alasannya, belum diketahui secara pasti berapa lama waktu dan seberapa besar kekuatan yang diperlukan oleh sinar matahari untuk melumpuhkan virus penyebab Covid-19. Sekalipun sinar matahari terbukti mampu membunuh virus tersebut, jumlah UV dalam sinar matahari bisa berbeda-beda. Perbedaan ini bergantung pada waktu, musim dan wilayah tempat tinggal, khususnya garis lintang.

Ketidakpastian inilah yang membuat sinar matahari menjadi sesuatu yang tak bisa diandalkan untuk membunuh virus penyebab Covid-19. Belum lagi, terlalu lama terpapar oleh UV jenis apapun bisa menyebabkan kerusakan kulit dan meningkatkan risiko kanker kulit.

Hal lain yang perlu dipahami adalah sinar matahari tidak bisa menyembuhkan penyakit Covid-19. Seberapa pun besarnya jumlah UV yang ada, tak akan bisa memberi dampak apa pun ketika virus sudah masuk ke dalam tubuh.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement