REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli epidemiologi dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Defriman Djafri Ph.D mengatakan rapid test atau tes cepat tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk memastikan seseorang terinfeksi COVID-19 atau tidak.
"Karena dasarnya tidak rekomendasi dari WHO. Itu harus hati-hati betul," kata Defriman saat dihubungi di Jakarta, Jumat (3/4).
Ia menjelaskan tes cepat itu lebih kepada pemeriksaan antibodi saja bukan Polymerase Chain Reaction (PCR), sehingga dikhawatirkan setelah orang melakukan rapid test dan hasilnya negatif mereka merasa sudah aman padahal belum tentu.
"Itu banyak terjadi. Di Bogor ada laporan seperti itu ketika hasilnya negatif tapi pas PCR dia positif," ujarnya.