REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Arie Lukihardianti, Umar Mukhtar
Wakil Presiden Ma'ruf Amin berharap Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang isinya mengharamkan masyarakat mudik di tengah wabah virus corona atau Covid-19. Ma'ruf yang saat ini menjabat Ketua Umum MUI nonaktif mengaku telah mendorong MUI agar menggodok fatwa tentang larangan mudik tersebut.
Pernyataan itu disampaikan Ma'ruf saat menjawab kekhawatiran Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil melalui video conference, Jumat (3/4), atas gelombang arus mudik dari Jakarta ke daerah-daerah, termasuk Jawa Barat.
"Kita sudah juga mendorong MUI untuk menyatakan bahwa pada saat sekarang itu mudik itu haram hukumnya," ujar Ma'ruf.
Ma'ruf akan kembali meyakinkan MUI agar mengeluarkan fatwa haram mudik. Sebab, fatwa dari MUI akan memperkuat imbauan agar masyarakat tidak mudik di tengah pandemi Covid-19
Sebelunya, MUI juga sudah mengeluarkan beberapa fatwa yang terkait upaya menekan penyebaran Covid-19.
"Ya saya akan coba lagi dorong MUI untuk mengeluarkan, sebenarnya sudah fatwa shalat Jumat, penanganan jenazah sudah keluar kan. kemudian juga bahkan sholat tanpa wudhu tanpa tayamum itu sudah dalam situasi petugas medis, saya akan coba nanti supaya juga keluar tentang mudik," ujar Ma'ruf.
Atas hal tersebut, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersyukur jika imbauan tidak mudik oleh Pemerintah daerah maupun Pusat diikuti fatwa MUI. Ia menilai, fatwa ulama lebih didengar masyarakat.
Hal ini kata Ridwan, karena banyak masyarakat yang menolak dengan alasan agama.
"Jadi kalau MUI bisa keluar fatwa, tugas saya sebagai umaro tinggal menguatkan, seperti waktu fatwa MUI tentang sholat Jumat, waktu saya inisiatif (larangan sholat jumat) yang nge-bully banyak, tapi setelah fatwa MUI disebarkan semua turut diam dan mengikuti," ujarnya.
"Jadi mohon mungkin inovasi Wapres adalah menghasilkan fatwa yang menguatkan demi keselamatan dan menjauhi kemudaratan," ujar Ridwan lagi.
Ridwan mengatakan, gelombang masyarakat saat mudik menjadi kekhawatiran di daerah-daerah. Ini karena masyarakat yang berasal dari Jakarta akan langsung berstatus orang dalam pemantauan (ODP) begitu sampai di daerah.
Sementara, pemerintah daerah tidak bisa menjangkau semua pemudik yang kembali ke daerahnya.
"Itu kalau mudik tidak ditahan, kami Jabar, Jateng, Jogja akan kewalahan luar biasa karena pulangnya ke pelosok-pelosok. jadi dengan adanya mudik, kami khawatir peta yang warna merah tua ini akan menjadi sumber pandemik Covid," ujarnya.
Ia mencontohkan, gelombang mudik tahap awal di Jawa Barat tercatat sudah ada 70 ribu pemudik kembali ke daerahnya. Hal ini menyulitkan, mengingat alat tes cepat (rapid test) terbatas untuk ODP yang lama.
"Jadi kami kehabisan alat mengetes untuk meyakinan mereka pemudik sehat, kenyataannya banyak tidak sehat, kemarin Ciamis ada lansia sekarang positif Covid-19 kritis di Ciamis gara-gara didatangi anaknya dari Jakarta," keluh Ridwan.
Menurut Emil, fatwa haram untuk pemudik di tengah pandemi Covid-19 ini sangat krusial. Karena, ia menemukan satu kasus di Ciamis, di mana seorang lansia terjangkit virus Corona setelah didatangi anaknya dari Jakarta.
"Kemudian dua sisanya mereka yang mudik dari Jakarta datang ke kota Bandung sehingga tes juga dua duanya adalah positif," katanya.
Emil mengatakan, berkaca dari kasus tersebut, maka mengindikasikan potensi penyebaran Covid-19 di Jabar akan luar biasa mengkhawatirkan. Khususnya apabila tidak dapat mengendalikan arus mudik di tengah pandemik.
"Nah saya sampaikan mereka yang tidak mudik dari seputaran Jakarta akan ditanggung hajat hidupnya oleh pemerintah DKI Jakarta untuk KTP Jakarta. Dan untuk perantau Jakarta akan ditanggung oleh pemerintah pusat melalui kementerian sosial," paparnya.
Respons MUI
Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin Abdul Fatah menilai fatwa haram terkait perjalanan mudik belum begitu penting. Menurut dia, justru pemerintah dalam kondisi ini berperan mengeluarkan peraturan yang menegaskan larangan melakukan mudik sebagai solusi mencegah penyebaran wabah Covid-19.
"Menurut saya untuk saat ini belum begitu penting fatwa itu. Harusnya tinggal penegakan hukumnya saja. Kalau peraturannya sudah jelas, larangan mudik itu jelas, apakah peraturan presiden atau peraturan pemerintah, itu saja laksanakan. Enggak perlu fatwa-fatwaan saya kira," tutur dia kepada Republika.co.id, Jumat (3/4).
Apalagi, lanjut Hasanuddin, hingga saat ini belum ada permintaan melalui surat secara formal ihwal permintaan fatwa haram mudik. Komisi Fatwa MUI pun belum membicarakan soal penyusunan fatwa tersebut. Meski begitu, jika ada permintaan dari masyarakat luas maupun pemerintah soal fatwa mudik, Komisi Fatwa siap melakukan kajian.
"Belum, setahu saya belum (ada permintaan fatwa) sampai saat ini. Kalau ada surat formal, atau ada permintaan dari masyarakat luas atau pemerintah, Komisi Fatwa siap mengeluarkan kalau memang perlu," tuturnya.
Hasan menilai, jika ingin melarang masyarakat di Jakarta untuk mudik, tidak cukup hanya dengan imbauan. Masyarakat yang mengandalkan penghasilan harian di Jakarta akan tetap pulang ke kampungnya. Pemerintah seharusnya memberikan bantuan dana kepada kelompok masyarakat tersebut sebagai bentuk perhatian di tengah pandemi seperti ini.
"Kalau pemerintah tidak memperhatikan ya bagaimana pun saya kira banyak saja yang mudik. Karena mereka itu mudik bukan karena kangen sama keluarga, tapi karena ekonomi. Enggak bisa makan mereka di Jakarta atau katakanlah Depok. Itu alasannya. Jadi enggak bakalan bisa dibendung kalau alasannya ekonomi. Enggak bisa makan mereka di sini karena enggak ada kerjaan," imbuhnya.
Terlepas dari hal itu, Hasanuddin mempersilakan untuk melayangkan surat permintaan fatwa kepada pihaknya. Komisi Fatwa siap mengeluarkan fatwa dengan terlebih dulu melihat dari berbagai aspek, baik itu kemaslahatan maupun mudharatnya.
"Tentunya dikaji dulu, dipertimbangkan sejauh mana keperluannya dan kepentingannya sehingga fatwa itu perlu dikeluarkan. Kalau dengan mudik itu menimbulkan semakin merajalelanya penyebaran Covid-19, ya bisa saja (dikeluarkan fatwa). Hal-hal yang tadinya dibolehkan menjadi dilarang dan akan menjadi haram kalau memang menimbulkan mudharat," ungkapnya.