REPUBLIKA.CO.ID, Kesehatan jiwa merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Dalam Islam, kesehatan jiwa menjadi syarat sah dalam beribadah umat Islam.
Jiwa yang sehat itu menurut Imam al-Ghazali, jika ia dihiasi dengan empat induk kesalehan, yakni hikmah, kesederhanaan ('iffah), keberanian (syaja'ah), dan keadilan ('adalah).
Beliau menjelaskan, kerelaan memaafkan orang yang telah menzaliminya adalah kesabaran dan keberanian (syaja'ah) yang sempurna. Kesempurnaan 'iffah terlihat dengan kemauan untuk tetap memberi pada orang yang terus berbuat kikir terhadapnya.
Sedangkan kesediaan untuk tetap menjalin silaturrahim terhadap orang yang sudah memutuskan tali persaudaraan adalah wujud dari ihsan yang sempurna. (lihat: Mizanul 'Amal).
Sebaliknya, ciri-ciri jiwa yang sakit adalah kosongnya jiwa dari keempat induk kesalehan di atas. Sakit jiwa bukan sekadar hilangnya akal (gila), melainkan ia juga hilangnya ketaatan pada Sang Khalik.
Derajat dan tingkatan manusia Kemampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya berbeda-beda. Imam al-Ghazali menjelaskan tiga tingkatan manusia dalam hal ini.
Pertama, orang yang dikuasa hawa nafsu dan bahkan menjadikannya tuhan sesembahannya (lihat QS. 25:43 dan QS. 45:23). Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya ini akan cenderung pada kesesatan, karena pendengaran dan kalbunya sudah terkunci.
Mereka diibaratkan seperti anjing (QS. 7:176), oleh karena itu tidak layak dijadikan pemimpin. Kedua, orang yang selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya. Maka terkadang ia mampu mengendalikannya dan terkadang tidak. Mereka ini tergolong mujahidin.
Jika saat kematian datang menjemputnya, sedangkan ia dalam usaha mengendalikan hawa nafsunya, ia tergolong syuhada'. Sebab ia sedang menyibukkan dirinya menjalankan perintah Rasulullah SAW untuk memerangi hawa nafsu seperti memerangi musuhnya.
Ketiga, golongan yang berhasil mengendalikan hawa nafsu dan mengalahkannya dalam kondisi apa pun. Mereka inilah golongan penguasa sejati yang telah terbebas dari belenggu hawa nafsu.
Umar bin Khattab merupakan salah satu contoh orang yang menduduki peringkat ini, hingga Nabi pun bersabda bahwa setan akan mengambil jalan yang tidak dilalui Umar.
Oleh sebab itu, dalam rangka melepaskan belenggu nafsu dan untuk meraih kebahagiaan hakiki, beliau menjelaskan empat kiat, yaitu mengenal diri, mengenal Pencipta, mengenal hakikat dunia, dan mengenal hakikat akhirat.
Dalam proses mengenali diri, Imam al- Ghazali memberikan bahan introspeksi harian (muhasabah). Misalnya: Anda itu apa? Anda datang ke tempat ini dari mana? Untuk tujuan apa Anda diciptakan? Karena apa Anda berbahagia? Dan mengapa juga Anda harus merasa sengsara?
Masih dalam rangka mengenali diri, Imam al-Ghazali menjelaskan adanya empat potensi dalam diri manusia, yang masing-masing memiliki kebahagiaannya sendiri. Keempat potensi tersebut adalah sifat binatang ternak, sifat binatang buas, sifat setan, dan sifat malaikat. Beliau pun menguraikan sebagai berikut: "Sesungguhnya kebahagiaan binatang ternak itu saat makan, minum, tidur, dan melampiaskan hasrat seksualnya.
Jika Anda termasuk golongan mereka, bersungguh-sungguhlah dalam memenuhi kebutuhan perut dan kemaluan. Kebahagiaan binatang buas itu kala ia berhasil memukul dan membunuh. Kebahagiaan setan itu ketika ia berhasil melakukan makar, kejahatan, dan tipu muslihat. Jika Anda berasal dari golongan mereka, sibukkanlah diri Anda dengan kesibukan setan. Sedangkan kebahagiaan malaikat itu tatkala ia menyaksikan indahnya kehadiran Tuhan.
Maka jika Anda termasuk golongan malaikat, bersungguh-sungguhlah dalam mengenali asal-usul Anda, hingga mengetahui jalan menuju kepada-Nya, dan terbebas dari belenggu syahwat dan amarah." (lihat: Kimiya al- Sa'adah).
Menurut Imam al-Ghazali, kebahagiaan dan jiwa yang sehat itu diawali dengan ilmu pengetahuan. Maka barang siapa yang sudah hilang kemauan untuk mencari ilmu, orang itu ibarat orang yang habis seleranya untuk memakan makanan yang baik; atau seperti orang yang lebih suka makan tanah daripada makan roti. Sebab, kebahagiaan hakiki adalah hakikat spiritual yang kekal, keyakinan pada hal-hal mutlak tentang hakikat alam, identitas diri, dan tujuan hidup. Kesemuanya itu berawal dari ilmu dan bermuara pada mahab batullah (cinta kepada Allah).