REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beredar kabar di masyarakat bahwa Chloroquine merupakan obat malaria yang masih digunakan. Padahal, obat tersebut sudah tidak lagi digunakan untuk pengobatan penyakit itu karena adanya resistensi.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tirmizi, khawatir masyarakat akan menggunakan klorokuin untuk pengobatan virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) secara berlebihan.
“Nanti otomatis kalau dia minum klorokuin karena dugaan awalnya Covid-19, tapi sebenarnya penyakitnya malaria. Pasti demamnya akan turun sedikit, tapi malarianya tidak terobati, malah akan menjadi resisten malaria," katanya di Gedung Kemenkes, Jakarta, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Jumat (3/4).
Untuk penggunaan Covid-19, dia melanjutkan, tidak bisa hanya Chloroquine saja, tapi harus dibarengi obat lain seperti oseltamivir. Dia menekankan, bahwa Chloroquine sudah tidak lagi digunakan sebagai obat malaria karena terjadi resistensi terhadap penyakit tersebut.
Dikatakan Nadia, sekitar 2009-2010 lalu Chloroquine bisa dijual bebas. Akibatnya, resistensi yang sangat tinggi terhadap penggunaan Chloroquine terutama pada penderita malaria.
Kondisinya saat itu setiap kali orang merasa demam langsung mengonsumsi Chloroquine. Akibatnya, demam hilang namun terjadi resistensi malaria.
“Kita khawatir, walaupun saat ini sedang pandemi Covid-19, tapi jangan sampai target kita mencapai eliminasi malaria pada tahun 2030, tidak tercapai,” ujarnya.
Nadia menjelaskan, Chloroquine sudah tidak masuk ke dalam pengobatan malaria. Artinya, Chloroquine masih digunakan untuk obat-obat dengan penyakit lupus. Chloroquine sendiri sudah dihapus dari Daftar Obat Esensial (DOEN) dan Formularium Nasional (Fornas) untuk obat malaria sejak 2010.
“Jadi memang ini yang menjadi konsen kami, walaupun Chloroquine masih ada dalam jumlah terbatas, tapi memang sudah peruntukannya untuk penyakit lupus dan berbeda dosisnya dengan pengobatan malaria,” kata Nadia.