REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak melarang dengan tegas mudik lebaran, dikhawatirkan Indonesia akan segera melejit masuk ke lima besar negara yang terpapar Covid-19. Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif LSI, Denny JA.
Pada 3 April, kata Denny JA, lima negara yang paling banyak terpapar Covid-19 adalah Amerika Serikat dengan 245,380 kasus, Spanyol (117, 710 kasus), Italia (115.242 kasus), Jerman (85. 263 kasus), dan Cina (81.620 kasus). "Tapi jika Jokowi tak melarang dengan keras mudik lebaran, Indonesia segera melejit masuk ke dalam lima besar itu,” kata Denny JA, dalam siaran persnya, Jumat (3/4).
Denny menjelaskan, tahun lalu, dari wilayah Jabotabek saja, jumlah yang pemudik mencapai angka 14, 9 juta penduduk. Angka ini membengkak jika ditambah penduduk kota besar lain.
Jika diasumsikan asumsikan mudik pada 2020 di angka 14,9 juta untuk seluruh Indonesia. "Di kampung halaman, mereka akan berinteraksi dalam kultur komunal. Mereka berjumpa keluarga besar, tetangga, sahabat,” kata Denny. Kalau rata rata 1 orang yang mudik berinteraksi dengan 3 orang lainnya, maka mudik menyebabkan interaksi sekitar 45 juta penduduk Indonesia.
Dari angka itu, kata Denny, kalau 1 persen saja dari jumlah populasi pasca- mudik terpapar Covid-19, artinya setelah mudik akan ada 450 ribu penduduk Indonesia menjadi korban. Angka itu bahkan sudah melampaui populasi korban di Amerika Serikat yang kini berada di puncak negara paling terpapar virus corona.
Dengan kondisi ini, kata Denny, pemerintah tak cukup lagi hanya menghimbau. Misalnya, mereka yang mudik dihimbau karantina 14 hari. Atau yang pergi atau pulang mudik statusnya menjadi ODP, PDP. “Kalau jumlah sebanyak 14,9 juta itu akan diisolasi dimana? Cukupkah infrastuktur kesehatan kita mengurus populasi sebanyak itu?” ungkap Denny.
Kondisi sekarang saja, lanjut Denny, banyak rumah sakit dan tenaga media menjerit kekurangan fasilitas. Termasuk jumlah pasien yang meninggal di Indonesia lebih banyak dibandingkan yang sembuh.
"Bagaimana infrastuktur kesehatan kita siap dan mampu menampung lonjokan korban paska mudik,” ungkap Denny.
Denny memuji sikap Sekjen MUI yang sensitif dan berani menyatakan mereka yang mudik dari wilayah pandemik, hukumnya haram." Bukan dalil agama yang akan ditekankan di sini. Namun sekjen MUI mencoba meminimalkan orang mudik menggunakan instrumen yang ia kuasai,” kata peneliti senior ini.
Namun, menurut Denny, tetap yang paling efektif melakukan intervensi mudik adalah pemerintah pusat. Agar pemerintah pusat tidak disalahkan, Denny menyarankan agar Jokowi mempertimbangkan dua hal. Pertama, melarang mudik, yang diikuti kontrol ketat pihak keamanan di semua jalur mudik. Kedua, lanjut dia, mencarikan solusi untuk mereka yang ingin pulang kampung karena kesulitan ekonomi hidup di kota pada saat ini.
Jokowi sudah umumkan paket menyeluruh untuk Covid-19 dengan total Rp.405 trilyun. Kata Denny, publik perlu diberi informasi rinci. "Mereka yang tak bisa mudik, yang ekonominya merosot untuk kebutuhan dasar, bagaimana agar mereka mudah mendapatkan akses program itu,” papar Denny.
Diingatkannya, virus Corona di dunia semakin cepat menyebar karena momen Imlek 25 Januari 2020. Di indonesia, mediumnya adalah mudik dan lebaran.
"Ini memang situasi tak normal. Mudik biasanya begitu hangat dan menggembirakan. Kini mudik justru menakutkan. Namun Jokowi berada dalam posisi menentukan bagaimana mudik 2020 akhirnya dikenang,” ungkap dia.