REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk membebaskan narapidana kasus korupsi dinilai sebagai langkah mengambil kesempatan di tengah pandemi Covid-19. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Pangeran Khairul Saleh mengatakan, jumlah napi korupsi tidak sebanyak napi pidana umum di lapas.
"Saya melihat hal ini lebih kepada Menkumham seperti ‘mengambil kesempatan’ di tengah kondisi Pandemi Covid-19," tutur Saleh kepada Republika.co.id, Sabtu (4/4).
Ia menambahkan, kondisi kelebihan kapasitas yang terjadi di lembaga pemasyarakatan hanya terjadi di napi pidana umum dan kasus narkotika. Kondisi tersebut tidak terjadi pada napi kasus korupsi.
Sebab, koruptor biasanya mendapat satu sel untuk satu narapidana. Saleh menegaskan, melihat kondisi tersebut alasan Menkumham memberi pembebasan kepada koruptor dengan alasan mencegah penyebaran Covid-19 tidak tepat.
Menurutnya, hal yang perlu dilakukan terhadap napi korupsi hanya sekadar fasilitas pencegahan, bukan pembebasan. Misalnya, pemberian fasilitas untuk rapid test, atau penyemprotan disinfektan ke kamar-kamar yang dihuni koruptor.
Sultan Banjar itu meminta Menkumham mengkaji ulang rencana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warha Binaan Pemasyarakatan. "Jangan sampai tindakan merevisi PP tersebut dilakukan dalam kondisi tergesa-gesa sehingga tidak tepat sasaran," tegasnya.
Namun, jika rencana Menkumham untuk membebaskan koruptor ini terlaksana di tengah pandemi Covid-19, Saleh mengatakan, hal ini dapat membuktikan keberpihakan pemerintah terhadap pemberantasan kasus korupsi di Indonesia. Menkumham harus membatalkan rencananya memberi keleluasaan terhadap pembebasan napi korupsi.
Terlebih, jika membaca pernyataan staf khusus presiden bidang hukum sudah menyatakan napi korupsi tak boleh dibebaskan dengan alasan pencegahan penyebaran virus corona di dalam lapas.